Sabtu, 05 Januari 2013

Tuan Guru H.Muhammad Zainuddin Arsyad Menuntut Ilmu Di Makkah



Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Arsyad, sebelum melanjutkan studinya (Sekolahnya) ke tanah Suci Makkah Almukarramah, beliau belajar agama Islam pada  ayahandanya TGH. Muhammad Arsyad (Alm) dan pada tokoh agama terdekat di Desanya saat itu. Setelah beliau berusia 12 tahun, yaitu pada tahun 1341 H/1923 M, berangkatlah beliau ke tanah Suci Makkah Al-Mukarramah menuntut ilmu untuk memperdalam berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan Islam, beliau berangkat bersama ayahandanya yaitu TGH. Muhammad Arsyad (alm). Dalam satu riwayat di ceritakan bahwa di saat keberangkatan beliau menuntut ilmu di negeri Makkah, beliau di gendong oleh orang tuanya, sebab usianya masih terlalu muda untuk menempuh perjalanan yang sangat jauh.



Di negeri Makkah beliau di titipkan atau di pondokkan di tempat Syieh Ali Mukminah, dari saat itu pula beliau tinggal dan hidup bersama Syieh Ali Mukminah, perasaan kesendirian kerapkali terjadi pada diri beliau karena merasa jauh dari keluarga yang amat di cintainya.

Di kota Suci Makkah Al-Mukarramah. Ayahandanya sangat selektif dalam mencari dan menentukan guru yang akan mengajar dan mendidik putra kesayangannya. Ayahandanya yakin bahwa guru adalah sumber ilmu dan kebenaran serta menjadi panutan bagi murid dalam membentuk pola pikir, berkeperibadian dan berperilaku dalam seluruh aspek kehidupan sehingga ilmu dan didikan yang diperoleh murid berguna dan bermanfaat bagi kehidupan baik di dunia dan di akherat.

Kemudian setelah itu ayahandanya menemui Syaikh Yasin Basyuni Bin Imam Syafi’i sebagai guru yang pertamanya, sedangkan Syaikh Yasin Basyuni Bin Imam Syafi’i merupakan keturunan dari Imam Syafi’i, selanjutnya TGH Muhammad Arsyad menyerahkan putranya Muhammad Zainuddin dan diangkat sebagai anak angkat yang paling di sayanginya. Di rumah ayah angkatnya beliau belajar sangat tekun dengan ulama’-ulama’ terkenal pada zaman itu.

Pada tahun 1928 M, beliau melanjutkan studinya (Sekolahnya) di  Madrasah Darul Ulum,  Darul Ulum terletak di sebuah perkampungan yang bernama Jarwal, kurang lebih 1 kilometer dari Masjidil Haram, yang pada saat itu Madrasah Darul Ulum di pimpin oleh Syaikh Salim Rahmatullah putra Syaikh Rahmatullah, pendiri Madrasah Darul Ulum. Madrasah ini adalah salah satu madrasah dari sekian madrasah yang ada di tanah Suci Makkah Al-Mukarramah, dan telah banyak menghasilkan dan mencetak ulama’-ulama’ besar di Madrasah Darul Ulum tersebut, dan di madrasah inilah beliau belajar berbagai disiplin ilmu pengetahuan agama Islam dengan sangat rajin dan tekun di bawah bimbingan ulama’-ulama’ terkemuka yang ada di kota suci Makkah waktu itu.

Karna di tunjang oleh tingkat kecerdasannya (IQ) yang sangat tinggi, ketekunan dalam belajar dan kasih sayang serta keikhlasan kedua orang tua dan do’a restu dari para gurunya, beliau melanjutkan Studi (Sekolahnya) ke perguruan Asy-Syafi’iyah, Muhammad Zainuddin mengambil jurusan tafsir dan Ilmu Tafsir, di perguruan Asy-Syafi’iyah, di tempat perguruan inilah beliau memperoleh peredikat yang sangat memuaskan sehingga mendapatkan nama (Shadah Alimiyah) dari perguruan Asy-Syafi’iyah tersebut, di tempat Muhammad Zainuddin menuntut ilmu, dan gelar tersebut yang diberikan oleh perguruan tempat belajarnya, gelar tersebut sangat layak dan pantas disandang oleh Muhammad Zainuddin, sebab pada usia 15 tahun, beliau sudah mampu menghafal 30 Juz isi Al-Qur’anul Karim, suatu prestasi yang jarang dijumpai pada saat itu. Keberhasilan beliau meraih prestasi yang tinggi ini pulalah yang menyebabkan beliau mendapat banyak pujian, baik dari guru-gurunya sendiri maupun dari kawan-kawan yang seangkatan dengan beliau dan pujian dari ulama’-ulama’ terkemuka lainnya.

Di tanah Suci Makkah Almukarramah, beliau mengembangkan dan membina dirinya di bawah bimbingan asuhan dan didikan ulama’-ulama’ terkemuka di kota suci tersebut, sehingga beliau berhasil dengan gemilang menjadi figur ulama’ terpandang dan memiliki kharisma besar di Makkah Al-Mukarramah, karena memiliki bobot keilmuan yang tinggi dan mendalam.

Ulama’-ulama’ besar yang berjasa besar dalam mengajar dan mendidik beliau, khususnya di Makkah Al-Mukarramah sebagai berikut :

1.    Syaikh Yasin Basyuni Bin Imam Syafi’
2.    Syaikh Salim Rahmatullah
3.    Syaikh Rahmatullah
4.    Maulanasy Syaikh Ali Al-Falimbani
5.    Al ‘Allamah Asy Syaikh Muhammad Said Al Yamani

Sayang sekali penulis tidak dapat mengungkapkan dan menyebutkan secara keseluruhan nama-nama guru beliau, karena penulis kekurangan dan keterbatasan bahan refrensi dan belum ada satupun yang mengetahui tentang guru beliau secara lengkap, sewaktu beliau belajar di Makkah Al-Mukarramah, karena TGH. Muhammad Zainuddin Arsyad mengikuti wasiat ayahnya yaitu untuk tidak membangga-banggakan diri terhadap orang banyak.

Perlu diketahui, bahwa guru-guru besar beliau yang tersebut diatas, semuanya menganut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah. Tegasnya tidak ada satupun yang menganut paham selain itu, seperti Mu’tazilah, wahabi, dan lain sebagainya.

Kenyataan ini membuktikan kebenaran ucapan dan pesan-pesan beliau kepada seluruh murid-muridnya yang sering disampaikan pada banyak kesempatan   Hati-hatilah mencari dan memilih guru, jangan sembarangan memilih guru yang akan mendidik kita ”. Pilihlah guru yang memenuhi syarat, karena guru merupakan sumber ilmu dan kebenaran serta panutan bagi murid untuk mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Syarat minimal bagi seorang guru adalah berbakti kepada kedua orang tua, taat kepada guru, berakhlaq baik dan memiliki kemampuan ilmu , inilah pesan beliau yang selalu di ungkapkan kepaada masyarakat.

Dengan uraian di atas, maka jelaslah silsilah serta sumber ilmu agama yang tumbuh dan berkembang serta hidup subur di Pondok Pesantren Maraqitta’limat yang merupakan sumber jiwa dan semangat perjuangannya dalam membina umat dari sejak lahir (Usia dini), sekarang dan seterusnya adalah paham Ahlussunah Wal Jama’ah.

Selama beliau menuntut ilmu di tanah Suci Makkah Al-mukarramah, dalam satu riwayat di ceritakan, bahwa beliau pernah suatu ketika di mimpikan oleh ibu angkatnya (Inaq Ismail) dan dalam mimpinya, beliau sedang asik-asiknya bermain layang-layang bersama teman-temannya, namun tetapi di tengah keasikan beliau bermain layang-layang, tiba-tiba layang-layang tersebut putus talinya seketika tanpa sebab dan musababnya, kemudian layang-layang tersebut terbang sangat tinggi sekali, sehingga kejadian dalam mimpi yang di alami oleh ibu angkatnya tersebut, terus dan terus berulang-ulang kali hingga sampai tiga kali dimimpikan dengan mimpi yang sama dan serupa, saat itu pula rasa kehawatiran dan kegelisahan dari Ibu angkatnyapun muncul dalam benaknya, perasaan tidak tenang tak dapat di bendungnya lagi, sehingga kejadian tersebut di ceritakan pada suaminya (Amaq Ismail), kemudian Amaq Ismal menceritakannya kepada orang tua kandung beliau yakni Tuan Guru H.Muhammad Arsyad, kemudian orang tua kandungnya mengirim sepucuk surat kepada beliau dan menceritakan kejadian dalam mimpi ibu angkatnya tersebut, balasan surat dari beliau kepada keluarganya yang ada di Mamben Lauk, di ceritakan dalam suratnya bahwa baru saja beliau telah mengalami seuatu musibah yaitu beliau jatuh dari tangga bangunan yang bertingkat tinggi, tetapi dari kejadian tersebut beliau tidak mengalami luka yang parah, hanya saja badan beliau yang  merasa sakit.
Dari kejadian yang menimpa diri beliau, tidak menyurutkan semangatnya untuk menuntut ilmu di negeri Makkah Al-mukarramah, dengan semangat yang tinggi dan tekad beliau yang besar untuk menuntut ilmu, tanpa terasa beliau tinggal di tanah Suci Makkah sudah 20 tahun lamanya, sehingga sekitar pada tahun 1938 beliau memutuskan untuk pulang ke tanah air di mana beliau di lahirkan.

Kembali Dari Negeri Makkah

Setelah beliau kembali dari negeri Makkah, pada saat itu beliau masih tergolong remaja berusia sekitar 38 tahun, dan selama beliau berada di negeri Makkah menuntut ilmu, namun di samping untuk memeperdalam berbagai ilmu-ilmu agama islam, beliau juga memperdalam ilmu bahasa Arab, karena bahasa Arab juga sebagai bahasa pergaulan untuk berkomunikasi sehari-harinya dengan Orang-orang Arab, dengan penguasaan bahasa Arab yang cukup bagi beliau, sehingga sepulang beliau pun masih mempergunakan bahasa Arab sebagai alat berkomunikasi dengan keluarga dan tetangganya, hal ini di sebabkan oleh faktor kebiasaan beliau sehari-hari selama berada di negeri Makkah yang kerapkali menggunakan bahasa Arab sebagai salah satu alat berkomunikasi dengan penduduk setempat, maka tidak heran bila kebiasaan beliau terbawa sampai ke kampung halamannya, dalam satu riwayat di ceritakan bahwa beliau seringkali menggunakan bahasa Arab dalam melakukan komunikasi pada setiap orang yang bertemu dan berbicara kepadanya, melihat kondisi dari kebiasaan beliau membuat para keluarganya menjadi merasa bingung, karena dari sebagian keluarga dan sahabatnya tidak mengerti dari ucapannya, sehingga sebagian masyarakat tidak dapat berkomunikasi langsung dengan beliau, kebiasaan tersebut berlangsung sampai berbulan-bulan. Melihat kebiasaan beliau tersebut, sebagian orang berpendapat dan menganggap beliau sengaja dan bahkan ada pula yang mengejeknya, namun tetapi atas ejekan dan cemohan orang terhadap dirinya di tanggapi dengan sikap dingin dan penuh kesabaran, bahkan beliau dengan ikhlas menerima cemohan tersebut, karena hal ini terjadi tanpa unsur kesengajaan dari beliau, dan menurut beliau hanyalah sebuah kebiasaan melakukan berkomunikasi sewaktu beliau tinggal di negeri Makkah yang cukup lama, setelah beliau tinggal satu tahun di Mamben, barulah komunikasinya dengan masyarakat setempat menjadi sedikit lancar.

   Setelah sekian lamanya beliau kembali dari Makkah dan menetap di Mamben Lauk, kegiatan beliau membantu orang tuanya memajukan Majlis Ta’lim yang di kelola oleh Ayahnya, karena pada waktu itu sang Ayah menjabat sebagai Penghulu (Tokoh Agama) yang di percayakan oleh masyarakat, melihat kesibukan sang Ayah, maka beliaupun mengabdikan diri sebagai guru mengajar membaca Al-Qur’an (Baca Sasak : Guru Ngaji), dan di samping itupula beliau juga meberikan ceramah-ceramah (Da’wah) tentang berbagai ilmu di bidang agama, sang Ayahpun sangat bersyukur atas kemampuan dari putranya yang memberikan ceramah-ceramah keagamaan terhadap anggota jamaah majlis ta’lim yang sedang di kelola ayahnya, yang sebelum kepulangan beliau dari tanah suci Makkah Al-Mukarramah, sang ayah sering pula di bantu oleh Tuan Guru yang berasal dari Daerah Masbagik untuk memberikan Ceramah-ceramah keagamaan kepada masyarakat Mamben Lauk. (dlan)
 
Bersambung.........(Bagian Ke Tiga)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar