Tuan Guru Haji Muhammad
Zainuddin Arsyad, sebelum melanjutkan studinya (Sekolahnya) ke tanah Suci
Makkah Almukarramah, beliau belajar agama Islam pada ayahandanya TGH. Muhammad Arsyad (Alm) dan pada tokoh
agama terdekat di Desanya saat itu. Setelah beliau
berusia 12 tahun, yaitu pada tahun 1341 H/1923 M, berangkatlah beliau ke tanah Suci
Makkah Al-Mukarramah menuntut ilmu untuk
memperdalam berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan Islam, beliau
berangkat bersama ayahandanya yaitu TGH. Muhammad Arsyad (alm). Dalam
satu riwayat di ceritakan bahwa
di saat keberangkatan beliau menuntut ilmu di negeri Makkah, beliau di gendong
oleh orang tuanya, sebab usianya masih
terlalu muda untuk menempuh perjalanan yang sangat jauh.
Di
negeri Makkah beliau di titipkan atau di pondokkan di tempat Syieh Ali
Mukminah, dari saat itu pula beliau
tinggal dan hidup bersama Syieh Ali Mukminah, perasaan kesendirian kerapkali terjadi
pada diri beliau
karena merasa jauh dari keluarga yang amat di cintainya.
Di kota Suci
Makkah Al-Mukarramah. Ayahandanya sangat selektif dalam mencari dan
menentukan guru yang akan mengajar dan mendidik putra kesayangannya. Ayahandanya
yakin bahwa guru adalah sumber ilmu dan kebenaran serta menjadi panutan bagi
murid dalam membentuk pola pikir, berkeperibadian dan
berperilaku dalam seluruh aspek kehidupan sehingga ilmu dan didikan yang
diperoleh murid berguna dan bermanfaat bagi kehidupan baik di dunia dan di
akherat.
Kemudian setelah
itu ayahandanya menemui Syaikh Yasin Basyuni Bin
Imam Syafi’i sebagai guru yang pertamanya, sedangkan Syaikh
Yasin Basyuni Bin Imam Syafi’i merupakan keturunan dari Imam Syafi’i, selanjutnya TGH
Muhammad Arsyad menyerahkan putranya Muhammad Zainuddin dan diangkat
sebagai anak angkat yang paling di sayanginya. Di rumah
ayah angkatnya beliau belajar sangat tekun dengan ulama’-ulama’ terkenal pada zaman
itu.
Pada
tahun 1928 M, beliau melanjutkan studinya (Sekolahnya) di Madrasah Darul Ulum, Darul
Ulum terletak di sebuah perkampungan yang bernama Jarwal, kurang lebih 1
kilometer dari Masjidil Haram, yang pada
saat itu Madrasah Darul Ulum di pimpin oleh
Syaikh Salim Rahmatullah putra Syaikh Rahmatullah, pendiri Madrasah Darul Ulum.
Madrasah ini adalah salah satu madrasah dari sekian madrasah yang ada di
tanah Suci Makkah Al-Mukarramah, dan
telah banyak menghasilkan dan mencetak ulama’-ulama’
besar di Madrasah Darul Ulum tersebut, dan di madrasah inilah beliau belajar berbagai disiplin ilmu
pengetahuan agama Islam dengan sangat rajin dan tekun di bawah
bimbingan ulama’-ulama’ terkemuka yang ada di kota suci Makkah waktu itu.
Karna di
tunjang oleh tingkat kecerdasannya (IQ) yang sangat
tinggi, ketekunan dalam belajar dan kasih sayang serta
keikhlasan kedua orang tua dan do’a restu dari para gurunya,
beliau melanjutkan Studi (Sekolahnya) ke perguruan
Asy-Syafi’iyah, Muhammad Zainuddin mengambil jurusan tafsir dan Ilmu Tafsir, di
perguruan Asy-Syafi’iyah, di tempat perguruan inilah beliau memperoleh peredikat yang sangat
memuaskan sehingga mendapatkan nama (Shadah
Alimiyah) dari perguruan Asy-Syafi’iyah tersebut, di tempat Muhammad
Zainuddin menuntut ilmu,
dan gelar tersebut yang diberikan
oleh perguruan tempat belajarnya, gelar tersebut sangat layak dan pantas disandang oleh Muhammad Zainuddin, sebab pada usia 15 tahun, beliau sudah mampu
menghafal 30 Juz isi Al-Qur’anul Karim,
suatu prestasi yang jarang dijumpai pada saat itu. Keberhasilan
beliau meraih prestasi yang tinggi ini pulalah yang menyebabkan beliau mendapat
banyak pujian, baik dari guru-gurunya sendiri maupun dari kawan-kawan yang
seangkatan dengan beliau dan pujian dari ulama’-ulama’
terkemuka lainnya.
Di tanah Suci
Makkah Almukarramah, beliau mengembangkan
dan membina dirinya di bawah bimbingan asuhan dan didikan ulama’-ulama’
terkemuka di kota suci tersebut, sehingga beliau berhasil dengan gemilang
menjadi figur ulama’ terpandang dan memiliki kharisma besar di Makkah
Al-Mukarramah, karena memiliki bobot keilmuan yang tinggi dan mendalam.
Ulama’-ulama’
besar yang berjasa besar dalam mengajar dan mendidik beliau, khususnya di
Makkah Al-Mukarramah sebagai berikut :
1.
Syaikh Yasin Basyuni Bin Imam Syafi’
2.
Syaikh Salim Rahmatullah
3.
Syaikh Rahmatullah
4.
Maulanasy Syaikh Ali Al-Falimbani
5.
Al ‘Allamah Asy Syaikh Muhammad Said Al
Yamani
Sayang sekali penulis
tidak dapat mengungkapkan dan menyebutkan secara keseluruhan
nama-nama guru beliau, karena penulis kekurangan
dan keterbatasan bahan refrensi dan belum
ada satupun yang mengetahui tentang guru beliau secara lengkap, sewaktu beliau
belajar di Makkah Al-Mukarramah, karena
TGH. Muhammad Zainuddin Arsyad mengikuti
wasiat ayahnya yaitu untuk tidak membangga-banggakan diri terhadap orang
banyak.
Perlu
diketahui, bahwa guru-guru besar beliau yang tersebut diatas, semuanya
menganut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah. Tegasnya tidak ada satupun yang
menganut paham selain itu, seperti Mu’tazilah, wahabi, dan lain sebagainya.
Kenyataan
ini membuktikan kebenaran ucapan dan pesan-pesan beliau kepada seluruh murid-muridnya
yang sering disampaikan pada banyak kesempatan “ Hati-hatilah
mencari dan memilih guru, jangan sembarangan memilih guru yang akan mendidik kita ”. Pilihlah guru yang
memenuhi syarat, karena guru merupakan sumber ilmu dan kebenaran serta panutan
bagi murid untuk mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Syarat
minimal bagi seorang guru adalah berbakti kepada kedua orang tua, taat kepada
guru, berakhlaq baik dan memiliki kemampuan ilmu ”, inilah pesan beliau yang selalu di ungkapkan kepaada masyarakat.
Dengan
uraian di atas, maka jelaslah silsilah serta sumber ilmu agama yang tumbuh dan berkembang serta hidup subur di Pondok Pesantren
Maraqitta’limat yang merupakan sumber jiwa dan semangat perjuangannya dalam
membina umat dari sejak lahir (Usia dini), sekarang
dan seterusnya adalah paham Ahlussunah Wal Jama’ah.
Selama beliau menuntut ilmu di tanah Suci Makkah Al-mukarramah, dalam satu riwayat di ceritakan, bahwa beliau pernah
suatu ketika di mimpikan oleh ibu angkatnya (Inaq Ismail) dan dalam mimpinya,
beliau sedang asik-asiknya bermain layang-layang bersama teman-temannya, namun tetapi di
tengah keasikan beliau bermain layang-layang, tiba-tiba layang-layang tersebut putus talinya seketika tanpa
sebab dan musababnya, kemudian layang-layang tersebut terbang sangat tinggi
sekali, sehingga kejadian dalam mimpi yang di alami oleh ibu angkatnya tersebut, terus dan terus berulang-ulang kali hingga sampai tiga
kali dimimpikan dengan mimpi yang sama
dan serupa, saat itu pula rasa kehawatiran
dan kegelisahan dari Ibu angkatnyapun muncul dalam benaknya, perasaan tidak
tenang tak dapat di bendungnya lagi, sehingga kejadian tersebut di ceritakan
pada suaminya (Amaq Ismail), kemudian Amaq Ismal menceritakannya kepada orang
tua kandung beliau yakni Tuan Guru H.Muhammad Arsyad, kemudian orang tua
kandungnya mengirim sepucuk surat kepada beliau dan menceritakan kejadian dalam
mimpi ibu angkatnya tersebut, balasan surat dari beliau kepada keluarganya yang
ada di Mamben Lauk,
di ceritakan dalam suratnya bahwa baru saja beliau telah mengalami seuatu
musibah yaitu beliau jatuh dari tangga bangunan yang bertingkat tinggi, tetapi
dari kejadian tersebut beliau tidak mengalami luka yang parah, hanya saja badan beliau yang merasa sakit.
Dari
kejadian yang menimpa diri beliau, tidak menyurutkan semangatnya untuk menuntut
ilmu di negeri Makkah Al-mukarramah,
dengan semangat yang tinggi dan tekad beliau yang besar untuk menuntut ilmu,
tanpa terasa beliau tinggal di tanah Suci Makkah
sudah 20 tahun lamanya, sehingga sekitar pada tahun 1938 beliau memutuskan
untuk pulang ke
tanah air di mana beliau di lahirkan.
Kembali
Dari Negeri Makkah
Setelah
beliau kembali dari negeri Makkah, pada saat itu beliau masih tergolong remaja
berusia sekitar 38
tahun, dan
selama beliau berada di
negeri Makkah menuntut
ilmu, namun di samping untuk memeperdalam berbagai ilmu-ilmu agama islam,
beliau juga memperdalam ilmu bahasa Arab, karena bahasa Arab juga sebagai
bahasa pergaulan untuk berkomunikasi sehari-harinya dengan Orang-orang Arab,
dengan penguasaan bahasa Arab yang cukup bagi beliau, sehingga sepulang beliau
pun masih mempergunakan bahasa Arab sebagai alat berkomunikasi dengan keluarga dan tetangganya,
hal ini di sebabkan oleh faktor kebiasaan beliau sehari-hari selama berada di
negeri Makkah yang kerapkali menggunakan bahasa Arab sebagai salah satu alat
berkomunikasi dengan penduduk setempat, maka tidak heran bila kebiasaan beliau
terbawa sampai ke kampung halamannya, dalam satu riwayat di ceritakan bahwa beliau
seringkali menggunakan bahasa Arab dalam melakukan komunikasi pada setiap orang
yang bertemu dan berbicara kepadanya, melihat kondisi dari kebiasaan beliau
membuat para keluarganya menjadi merasa bingung, karena dari sebagian keluarga
dan sahabatnya tidak mengerti dari ucapannya, sehingga sebagian masyarakat tidak dapat
berkomunikasi langsung dengan beliau, kebiasaan tersebut berlangsung sampai
berbulan-bulan. Melihat kebiasaan beliau tersebut, sebagian orang
berpendapat dan menganggap beliau sengaja dan bahkan ada pula yang mengejeknya,
namun tetapi atas ejekan dan cemohan orang terhadap dirinya di tanggapi dengan
sikap dingin dan penuh kesabaran, bahkan beliau dengan ikhlas menerima cemohan
tersebut, karena hal ini terjadi tanpa unsur kesengajaan dari beliau, dan
menurut beliau hanyalah sebuah kebiasaan melakukan berkomunikasi sewaktu beliau
tinggal di negeri Makkah yang cukup lama, setelah beliau tinggal satu tahun di
Mamben, barulah komunikasinya dengan masyarakat setempat menjadi sedikit
lancar.
Setelah sekian lamanya beliau kembali dari Makkah
dan menetap di Mamben Lauk,
kegiatan beliau membantu orang tuanya memajukan Majlis Ta’lim yang di kelola
oleh Ayahnya, karena pada waktu itu sang Ayah menjabat sebagai Penghulu (Tokoh
Agama) yang di percayakan oleh masyarakat, melihat kesibukan sang Ayah, maka
beliaupun mengabdikan diri sebagai guru mengajar membaca Al-Qur’an (Baca Sasak : Guru Ngaji), dan
di samping itupula beliau juga meberikan ceramah-ceramah (Da’wah) tentang
berbagai ilmu di bidang agama, sang Ayahpun sangat bersyukur atas kemampuan
dari putranya
yang memberikan ceramah-ceramah keagamaan terhadap anggota jamaah majlis ta’lim yang
sedang di kelola ayahnya,
yang sebelum kepulangan beliau dari
tanah suci Makkah Al-Mukarramah, sang ayah sering pula
di bantu oleh Tuan Guru yang berasal dari Daerah Masbagik untuk memberikan Ceramah-ceramah keagamaan kepada
masyarakat Mamben Lauk. (dlan)
Bersambung.........(Bagian Ke Tiga)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar