Tuan
Guru Haji Muhammad Zainuddin Arsyad adalah salah seorang tokoh penyi’ar agama
Islam, beliau sebagai perintis pondok pesanteren, dan beliau juga sebagai
perintis pembaharuan di dunia pendidikan melalui tangga pendidikan, serta
beliau juga adalah sebagai pendiri Yayasan Maraqitta’limat yaitu salah satu
organisasi Islam
yang ada dari sekian banyak organisasi Islam yang ada dan tersebar di seluruh penjuru
pulau Lombok ini.
Tuan
guru Haji Muhammad Zainuddin Arsyad merupakan salah seorang tokoh penyi’ar
agama islam di tanah pulau Lombok, sebagai seorang penyi’ar agama untuk
mengebangkan ajaran Islam
beliau menggunakan metode da’wah dengan
cara berdagang menyelusuri serta
mengelilingi ke setiap pelosok-pelosok wilayah yang ada di pulau Lombok, disamping itu pula metode da’wanya yang sangat di kenal
oleh masyarakat yang di datanginya adalah metode da’wah dari rumah ke rumah
(Baca Sasak : Ngamarin).
Sedangkan
strategi syi’ar Islam
yang jalankan dan di terapkan
oleh beliau, selalu menghargai adat atau kebiasaan masyarakat dalam suatu
wilayah yang di datanginya, artinya tidak serta merta beliau langsung
menghapuskan adat atau kebiasaan masyarakat yang kegiatan-kegiatannya
bertentangan dengan ajaran agama, seperti kebiasaan-kebiasaan masyarakat
meminum-minuman keras (Minuman Tuak),
membunyikan alat-alat musik tradisional (Gamelan) Secara berlebihan, dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat lainnya, yang di lakukan ketika pada waktu-waktu
sholat oleh masyarakat tersebut, karena pada saat itu masyarakat yang Ia datangi masih teramat jarang menjalankan
Ibadah Sholat, bahkan sebagian besar masyarakat belum memahami tata cara
tentang sholat. Beliau pada saat itu, untuk melaksanakan
misi da’wahnya adalah masyarakat yang masih buta tentang akan ajaran-ajaran Islam, di samping
itu pula keyakinan masyarakat masih begitu kuat dan kental pada kebiasaan-kebiasaan
pelaksanaan adat Wettu
Telu
yang merupkan akulturasi pembudayaan dari
agama Hindu, Budha dan Islam pada zaman sebelumnya,
contohnya di Belanting, sembalun Lombok timur, Bongor Lombok Barat dan Bayan,
Santong, Sidutan Lombok Utara, dan lain sebagainya.
Melihat
kondisi adat dan kebiasaan masyarakat yang masih jauh dari ajaran Islam, beliau selalu mendekati tokoh-tokoh adat dan tokoh yang
di segani atau di takuti oleh masyarakat setempat, terlebih dahulu beliau menyampaikan tentang pemahaman ajaran-ajaran
agama Islam kepada tokoh tersebut, kemudian beliau memulainya dari
perkenalan agama Islam itu sendiri hingga sampai kepada ajaran-ajaran agama
Islam yang mendalam, akhirnya dengan jiwa kesabaran dan sopan
santun beliau di dalam menyi’arkan ajaran agama Islam kepada para tokoh-tokohnya, sehingga
dengan perlahan-lahan kegiatan masyarakat tersebut yang masih bertentangan dari
ajaran agama Islam, lambat laun dan perlahan-lahan berkurang
sedikit-demi sedikit, misalnya beliau membolehkan masyarakat setempat membunyikan
alat-alat musik tradisional berupa gamelan
dan sejenisnya, tetapi di batasi sampai pada
waktu-waktu sholat, barulah pada saat masyarakat berkumpul, kemudian beliau
menyi’arkan dan berda’wah tentang ajaran agama Islam, hal ini di lakukan agar masyarakat
lebih simpati pada beliau, terutama
simpati pada ajaran-ajaran agama Islam yang di
syi’arkan, artinya strategi
da’wah yang kembangkan oleh beliau pada saat itu, menanakan rasa senang, suka
dan simpati dulu terhadap masyarakat akan ajaran agama Islam, lalu kemudian
setelah masyarakat merasa senang, suka dan simpati, baru beliau mengajarkan
tentang berbagai ilmu agama Islam.
Di samping strategi da’wah yang di kembangkan oleh
beliau, dengan sikap sopan, santun, rendah
hati, dan menghargai adat dan kebiasaan masyarakat tersebut, sehingga tanpa
beliau melarang dengan tegaspun masyarakat setempat menerima beliau, dengan
rasa simpati kepada beliau, kemudian dengan leluasa memberikan da’wahnya untuk
menyi’arkan ajaran-ajaran agama Islam,
satu riwayat yang di kisahkan, di
samping beliau membolehkan melakukan ritual-ritual adat dan kebiasaan masyarakat
tersebut, dan beliau menuntunnya dengan perlahan-lahan dengan ajaran-ajaran agama,
paling tidak beliau telah di beri ruang atau kesempatan untuk berda’wah, dan
tidak kalah pentingnya sasaran da’wah beliau selanjutnya kepeda anak-anak
mereka, karena anak-anak merekalah yang akan di didik, dibina untuk menjadi kader-kader
pelanjut syi’ar agama Islam,
dan agar anak-anak mereka tidak seperti mereka kelak di kemudian hari.
Tuan
Guru Haji Muhammad Zainuddin Arsyad,
di samping beliau sebagai penyi’ar agama Islam,
beliau juga berdagang ke berbagai pelosok untuk melaksanakan misi da’wahnya, strategi da’wah tersebut beliau sambil berdagang,
kegiatan berdagangnya
yang di lakoni oleh
beliau, bukanlah tujuan utamanya, akan tetapi kegiatan berdagang yang di
lakukan oleh beliau hanyalah menjadi alat media penyebar syi’ar da’wah Islam atau lebih tepatnya sebagai salah satu strategi
pendekatan dengan masyarakat di masing-masing wilayah yang di datanginya,
seperti di Sembalun, Sambalia, Obel-obel, Belanting, Lokok Aur, Anyar,
Panggung, Sidutan dan lain sebagainya, adapun barang dagangan beliau seperti
Garam Dapur, Kedelai, Bawang Merah, Bawang Putih, Cabe, Kapuk, pakian dan lain sebagainya.
Kegiatan dalam berdagang, beliau membawa barang
dari mitra usahanya kerap kali di sebut sebagai tempat mengambil atau membeli barang-barang yang di
jualnya (Saudagar), seperti orang keturunan Cina
dan Arab yang tinggal di Ampenan dan Cakranegara, beliau juga membeli barang
dari masyarakat kemudian di jual di mitra usahanya tersebut, kegiatan dari
berdagang seiring dengan kegiatan da’wah Islamiyah
yang di sebarkan
oleh beliau di berbagai pelosok daerah pulau Lombok ini, memberikann danpak positif, sehingga di
beberapa tempat yang di datangi oleh beliau selanjutnya di tandai dengan
pendirian Mushalla,
Masjid dan Lembaga pendidikan (Baca : Madrasah), hal ini dapat di lihat sekarang dari
napak tilas perjuangan beliau yang pernah di lakukan selama hidupnya di
berbagai pelosok.
Kegiatan
berdagang yang di lakukan oleh beliau di kisahkan, di sekitar pada tahun 1941
sebagai awal beliau memasuki daerah wilayah lombok utara yang sering di sebut
dengan wilayah dayan gunung, di awali dengan pertemuan beliau dengan seseorang
yang bernama Bapak Andi Abdul Gani yang merupakan keturunan suku Bugis dari Makassar, yang bertempat
tinggal di Desa Sukadana Kecamatan Bayan, Lombok Utara (Baca : Sekarang),
pertemuan beliau dengan Bapak Andi Abdul Gani di wilayah Panggung Desa Selengen
Kecamatan Kayangan (Baca : Sekarang), pada saat itu beliau sedang berjualan
garam dapur, kemudian Bapak Andi Abdul Gani membeli garam kepada beliau, namun
di saat tawar menawar harga, beliau tidak menawarkan dengan harga tinggi bahkan
beliau menambah atau memberikan lebih kepada Bapak Andi Abdul Gani, selanjutnya
pembicaraan antara beliau saat itu menjadi panjang lebar sehingga saling
mengenal satu sama lainnya, pada akhirnya Bapak Andi Abdul Gani mengajak beliau
untuk mampir dan berkunjung kerumah kediamannya yang terletak di gubuq Bangsal Telaga Bagek, dengan siapapun beliau bertemu selalu bersifat sopan,
santun dan rendah hati, baik dalam hal berbicara dan bersikap, terlebih-lebih
dalam berniaga (Berdagang) sehingga
mereka menjadi cepat akrab dan bersahabat,
karena beliau sering berkunjung kerumah Bapak Andi Abdul Gani, dari hubungan kegiatan jual beli atau
berdagang antara beliau dengan
Bapak Andi Abdul Gani, lambat laun menjadi hubungan Syi’ar Islam, kerena beliau
di setiap perbicangannya selalu di selipkan nuansa-nuansa ajaran Islam dan
Nasihat-nasihat agama.
Selanjutnya bila beliau datang kerumah
Bapak Andi Abdul Gani,
beliau selalu melakukan sholat berjama’ah di Masjid Panji Islam yang ukurannya
sangat kecil dan sedehana tetapi masih layak untuk di jadikan tempat beribadah,
yang di dirikan oleh orang tuanya Bapak Andi Abdul Gani yang bernama Bapak Andi
Abdurahman, setelah sekian lamanya mereka bersahabat, baru di ketahui bahwa
beliau seorang Tuan Guru, sehingga Bapak Andi Abdul Gani beserta masyarakat
setempat, meminta
beliau untuk memberikan ceramah-ceramah agama pada masyarakat, saat itu Bapak
Andi Abdul Gani adalah menjabat sebagai seorang kepala kampung (Bahasa Bugis :
Metue)
kemudian beliau menyepakati permintaan masyarakat tersebut, namun tetapi beliau
menyarankan dan berpendapat agar kegiatan ceramah, sementara jangan dulu di
lakukan di tempat-tempat umum seperti di masjid atau di mushalla, melainkan di lakukan
dengan cara berkunjung dari
rumah ke rumah (Baca Sasak : Ngamarin),
kerena tidak semua masyarakat yang ingin dan senang mendengarkan ceramah-ceramah beliau. Menurut
beliau dalam hal ini bagi masyarakat “ Jangan
sekali-kali merasa di paksa untuk memahami agama Islam “, lebih lanjut alasan beliau karena
situasi dan kondisi belum mendukung, karena lingkungan masyarakat setempat, masih banyak meyakini
keyakinan adat
Wetu Telu masih begitu kental saat itu.
Kemudian
setiap beliau datang ke kampung bangsal Telaga Bagek, beliau selalu berda’wah
dan membawa barang dagangannya
seperti Benang, Kapas dan pakaian berupa kain, terkadang juga kedatangan beliau
kerap kali menginap di Labuan Carik Desa Anyar, sehingga pada masa itu Bapak
Andi Abdul Gani selalu membantu beliau di dalam melakukan kegiatan-kegiatan
da’wahnya di sekitar wilayah Bayan.
Sedangkan di dusun Panggung Desa Selengen
Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara (Baca : Sekarang), beliaulah yang pertama
kali mendirikan Musholla di tepi pantai, dalam pendekatan dan interaksinya dengan masyarakat
setempat, beliau penuh
kesederhanaan, sopan, santun sehingga masyarakat banyak berguru kepada mereka
terutama sekali berguru agama, pada dasarnya kedatangan beliau pada awalnya
adalah sebagai pedagang, tetapi lambat laun beliau banyak di kenal oleh
masyarakat sekitar sebagai seorang tokoh agama yang patut di teladani.
Sementara, kegiatan berdagang yang di
lakukan oleh beliau ke Sembalun, beliau pertama kali berdagang ke wilayah
tersebut, dengan
membawa barang dagangan berupa pakaian, baju dan kain serta alat-alat Sholat,
saat itu Sembalun juga masih kental dengan keyakinan adat Wetu Telu, dan
teramat jarang di temukan masyarakat yang melaksanakan Sholat lima waktu, ketika beliau melihat keadaan sembalun yang
masih begitu jarangnya masyarakat menjalankan Sholat lima waktu, beliau dengan
pelan-pelan mendekati masyarakat untuk mengajak Sholat, tetapi masyarakat
menolaknya dengan berbagai bentuk alasan, penolakan tersebut “ bagaimana kami mau sholat, sementara
kami tidak
mempunyai pakaian untuk sholat, dan kami belum
bisa melaksanakan sholat ” . Mendengar
jawaban yang di lontarkan oleh masyarakat Sembalun pada saat itu, kemudian beliau
mengajarkan kepada beberapa orang tentang ilmu sholat dan memberikan pakain sholat, seperti sarung,
baju, peci atau kopiah, mukna (Baca Sasak : Telkum) sedangkan pakaian-pakian
yang di berikan kepada beberapa masyarakat setempat, merupakan barang dagangannya sendiri, tetapi begitu melihat keinginan
masyarakat Sembalun untuk belajar sholat
dan menggali ilmu agama, beliau rela walaupun mengalami kerugian secara ekonomi,
dan menurut
salah satu riwayat yang di ceritakan oleh H.Ibrahim kepada penulis, “ bahwa beliau seringkali
membelikan pakaian sholat
untuk masyarakat sembalun di toko Aikmel Lombok Timur “ , dan saya
sendiri sering di ajak untuk ikut menemaninya berdagang, tetapi apa yang saya
saksikan dan lihat saat itu, bahwa beliau tidak pernah mendapat keuntungan dari
hasil berdagangnya, kalau tidak rugi, hanya modal yang kembali (Baca sasak :
Pakpok).
Kegiatan syi’ar Islam yang di lakukan oleh beliau
khususnya di wilayah Lombok Utara atau yang
lebih di kenal dengan sebutan wilayah dayan gunung, di riwayatkan oleh Lalu Hasan B.A (Alm), salah seorang mantan Camat Bayan mengungkapkan kepada Penulis, “ bahwa beliau
sebenarnya mulai datang dan melakukan kegiatan berda’wah di Bayan dan
sekitarnya, pada saat itu masa Kedistrikan Raden Kertapati “ beliau mulai masuk
wilayah dayan gunung, namun tetapi beliau di saat itu di kenal oleh masyarakat
luas di samping sebagai penyi’ar agama Islam (Mublaig) beliau juga di samping berda’wah
juga sebagai saudagar (Berdagang), kegiatan da’wah yang di lakukan oleh beliau
dari rumah kerumah, karena pada saat itu masih teramat jarang kita temukan
adanya Musholla dan Masjid, di samping itu pula mayoritas masyarakat Bayan
masih meyakini keberadaan adat yakni Wettu Telu.
Melihat
perkembangan da’wah beliau semakin lama semakin berkembang di Bayan, suatu
ketika masyarakat asli Bayan pernah mengungkapkan dengan nada mengancamnya, agar
da’wahnya tidak berkembang luas, karena di samping beliau di kenal sebagai
penyi’ar agama juga sebagai pedagang, maka masyarakat asli Bayan tidak mau
melakukan hubungan jual beli barang berupa bawang merah terhadap beliau, pemberlakukan ini tidak hanya di tujukan kepada beliau
sendiri, bahkan terhadap siapa saja pengusaha yang
berasal dari Mamben saat itu, dan
juga kepada pengusaha yang sudah lama bertempat
tinggal di Bayan, karena pada saat
itu warga Mamben mayoritas menjadi pengusaha bawang merah, ancaman tersebut di sebabkan
oleh kegiatan da’wah beliau semakin
hari-semakin berkembang, sehingga masyarakat
asli Bayan beranggapan, bahwa
kegiatan da’wah beliau akan dapat merusak tatanan adat dan keyakinannya secara
perlahan-lahan, namun tetapi ancaman
tersebut tidak terjadi, dan kegiatan jual
beli hasil bumi berupa bawang merah tetap berjalan sebagaimana biasanya,
karena antara masyarakat
setempat selaku petani saling membutuhkan satu sama lain yakni pengusaha (Saudagar). Dan merekapun berpikir, Kemana lagi bawang
merah tersebut akan di jual,
kalau tidak kepada pengusaha yang berasal dari Mamben, sejak saat itu pula
kegiatan da’wah beliaupun semakin bertambah berkembang di Bayan, yang pada
akhirnya orang tua saya berkeinginan menyerahkan sebagian tanahnya untuk di
wakafkan sebagai sarana pendidikan menjadi Madrasah Ibtidaiyah Maraqitta’limat Anyar didirikan pada tahun 1969. Madrasah inilah yang
pertama kali didirikan di wilayah Lombok Utara (Dayan Gunung), yang sekarang
menjadi Madrasah Ibtidiyah Maraqitta’limat Anyar, yang berlokasi di sebelah
kantor Camat Bayan.(Sumber Lalu Hasan, BA) .
Melihat
perkembangan da’wah beliau di berbagai wilayah pelosok, seperti wilayah Mamben
Lauk, seperti Dusun Tembeng,
Bandok, Ladon, Lengkok,
Lendang Karang, Orong Bukal, Lendang Belo, Orong Rantek, Tirpas, Sukereme,
Penanggak, Mamben Daya, Gelumpang, Kali Bening, Renge, Bageq Longgeq, Ombe,
Dasan Bembeq, Erot, Kalijaga,
Suwela, Ketangga, Sapit
dan lain sebagainya, kemudian di lanjutkan kedaerah Sembalun, Sajang, Sambalia,
Belanting, Obel-Obel, Lokoq Aur, Anyar, Sukadana, Panggung, Sidutan, Sesait,
Santong, Bongor dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar