Sabtu, 05 Januari 2013

Tuan Guru Haji Muhammad Zainudin Arsyad Sebagai Penyi'ar Agama


Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Arsyad adalah salah seorang tokoh penyi’ar agama Islam, beliau sebagai perintis pondok pesanteren, dan beliau juga sebagai perintis pembaharuan di dunia pendidikan melalui tangga pendidikan, serta beliau juga adalah sebagai pendiri Yayasan Maraqitta’limat yaitu salah satu organisasi Islam yang ada dari sekian banyak organisasi Islam yang ada dan tersebar di seluruh penjuru pulau Lombok ini. 


Tuan guru Haji Muhammad Zainuddin Arsyad merupakan salah seorang tokoh penyi’ar agama islam di tanah pulau Lombok, sebagai seorang penyi’ar agama untuk mengebangkan ajaran Islam beliau menggunakan metode da’wah dengan cara berdagang menyelusuri serta mengelilingi ke setiap pelosok-pelosok wilayah yang ada di pulau Lombok, disamping itu pula metode da’wanya yang sangat di kenal oleh masyarakat yang di datanginya adalah metode da’wah dari rumah ke rumah (Baca Sasak : Ngamarin).

Sedangkan strategi syi’ar Islam yang jalankan dan di terapkan oleh beliau, selalu menghargai adat atau kebiasaan masyarakat dalam suatu wilayah yang di datanginya, artinya tidak serta merta beliau langsung menghapuskan adat atau kebiasaan masyarakat yang kegiatan-kegiatannya bertentangan dengan ajaran agama, seperti kebiasaan-kebiasaan masyarakat meminum-minuman keras (Minuman Tuak), membunyikan alat-alat musik tradisional (Gamelan) Secara berlebihan, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat lainnya, yang di lakukan ketika pada waktu-waktu sholat oleh masyarakat tersebut, karena pada saat itu masyarakat yang Ia datangi masih teramat jarang menjalankan Ibadah Sholat, bahkan sebagian besar masyarakat belum memahami tata cara tentang sholat. Beliau pada saat itu, untuk melaksanakan misi da’wahnya adalah masyarakat yang masih buta tentang akan ajaran-ajaran Islam, di samping itu pula keyakinan masyarakat masih begitu kuat dan kental pada kebiasaan-kebiasaan pelaksanaan adat Wettu Telu yang merupkan akulturasi pembudayaan dari agama Hindu, Budha dan Islam pada zaman sebelumnya, contohnya di Belanting, sembalun Lombok timur, Bongor Lombok Barat dan Bayan, Santong, Sidutan Lombok Utara, dan lain sebagainya.

Melihat kondisi adat dan kebiasaan masyarakat yang masih jauh dari ajaran Islam, beliau selalu mendekati tokoh-tokoh adat dan tokoh yang di segani atau di takuti oleh masyarakat setempat, terlebih  dahulu beliau menyampaikan tentang pemahaman ajaran-ajaran agama Islam kepada tokoh tersebut, kemudian beliau memulainya dari perkenalan agama Islam itu sendiri hingga sampai kepada ajaran-ajaran agama Islam yang mendalam, akhirnya dengan jiwa kesabaran dan sopan santun beliau di dalam menyi’arkan ajaran agama Islam kepada para tokoh-tokohnya, sehingga dengan perlahan-lahan kegiatan masyarakat tersebut yang masih bertentangan dari ajaran agama Islam, lambat laun dan perlahan-lahan berkurang sedikit-demi sedikit, misalnya beliau membolehkan masyarakat setempat membunyikan alat-alat musik tradisional berupa gamelan dan sejenisnya, tetapi di batasi sampai pada waktu-waktu sholat, barulah pada saat masyarakat berkumpul, kemudian beliau menyi’arkan dan berda’wah tentang ajaran agama Islam, hal ini di lakukan agar masyarakat lebih simpati pada beliau, terutama simpati pada ajaran-ajaran agama Islam yang di syi’arkan, artinya strategi da’wah yang kembangkan oleh beliau pada saat itu, menanakan rasa senang, suka dan simpati dulu terhadap masyarakat akan ajaran agama Islam, lalu kemudian setelah masyarakat merasa senang, suka dan simpati, baru beliau mengajarkan tentang berbagai ilmu agama Islam.

Di samping strategi da’wah yang di kembangkan oleh beliau, dengan sikap sopan, santun, rendah hati, dan menghargai adat dan kebiasaan masyarakat tersebut, sehingga tanpa beliau melarang dengan tegaspun masyarakat setempat menerima beliau, dengan rasa simpati kepada beliau, kemudian dengan leluasa memberikan da’wahnya untuk menyi’arkan ajaran-ajaran agama Islam, satu riwayat yang di kisahkan, di samping beliau membolehkan melakukan ritual-ritual adat dan kebiasaan masyarakat tersebut, dan beliau menuntunnya dengan perlahan-lahan dengan ajaran-ajaran agama, paling tidak beliau telah di beri ruang atau kesempatan untuk berda’wah, dan tidak kalah pentingnya sasaran da’wah beliau selanjutnya kepeda anak-anak mereka, karena anak-anak merekalah yang akan di didik, dibina untuk menjadi kader-kader pelanjut syi’ar agama Islam, dan agar anak-anak mereka tidak seperti mereka kelak di kemudian hari.

Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Arsyad, di samping beliau sebagai penyi’ar agama Islam, beliau juga berdagang ke berbagai pelosok untuk melaksanakan misi da’wahnya, strategi da’wah tersebut beliau sambil berdagang, kegiatan berdagangnya yang di lakoni oleh beliau, bukanlah tujuan utamanya, akan tetapi kegiatan berdagang yang di lakukan oleh beliau hanyalah menjadi alat media penyebar syi’ar da’wah Islam atau lebih tepatnya sebagai salah satu strategi pendekatan dengan masyarakat di masing-masing wilayah yang di datanginya, seperti di Sembalun, Sambalia, Obel-obel, Belanting, Lokok Aur, Anyar, Panggung, Sidutan dan lain sebagainya, adapun barang dagangan beliau seperti Garam Dapur, Kedelai, Bawang Merah, Bawang Putih, Cabe, Kapuk, pakian dan lain sebagainya.

 Kegiatan dalam berdagang, beliau membawa barang dari mitra usahanya kerap kali di sebut sebagai tempat mengambil atau membeli barang-barang yang di jualnya (Saudagar), seperti orang keturunan Cina dan Arab yang tinggal di Ampenan dan Cakranegara, beliau juga membeli barang dari masyarakat kemudian di jual di mitra usahanya tersebut, kegiatan dari berdagang seiring dengan kegiatan da’wah Islamiyah yang di sebarkan oleh beliau di berbagai pelosok daerah pulau Lombok ini, memberikann danpak positif, sehingga di beberapa tempat yang di datangi oleh beliau selanjutnya di tandai dengan pendirian Mushalla, Masjid dan Lembaga pendidikan (Baca : Madrasah), hal ini dapat di lihat sekarang dari napak tilas perjuangan beliau yang pernah di lakukan selama hidupnya di berbagai pelosok.

Kegiatan berdagang yang di lakukan oleh beliau di kisahkan, di sekitar pada tahun 1941 sebagai awal beliau memasuki daerah wilayah lombok utara yang sering di sebut dengan wilayah dayan gunung, di awali dengan pertemuan beliau dengan seseorang yang bernama Bapak Andi Abdul Gani yang merupakan keturunan suku Bugis dari Makassar, yang bertempat tinggal di Desa Sukadana Kecamatan Bayan, Lombok Utara (Baca : Sekarang), pertemuan beliau dengan Bapak Andi Abdul Gani di wilayah Panggung Desa Selengen Kecamatan Kayangan (Baca : Sekarang), pada saat itu beliau sedang berjualan garam dapur, kemudian Bapak Andi Abdul Gani membeli garam kepada beliau, namun di saat tawar menawar harga, beliau tidak menawarkan dengan harga tinggi bahkan beliau menambah atau memberikan lebih kepada Bapak Andi Abdul Gani, selanjutnya pembicaraan antara beliau saat itu menjadi panjang lebar sehingga saling mengenal satu sama lainnya, pada akhirnya Bapak Andi Abdul Gani mengajak beliau untuk mampir dan berkunjung kerumah kediamannya yang terletak di gubuq Bangsal Telaga Bagek, dengan siapapun beliau bertemu selalu bersifat sopan, santun dan rendah hati, baik dalam hal berbicara dan bersikap, terlebih-lebih dalam berniaga (Berdagang) sehingga mereka menjadi cepat akrab dan bersahabat, karena beliau sering berkunjung kerumah Bapak Andi Abdul Gani, dari hubungan kegiatan jual beli atau berdagang antara beliau dengan Bapak Andi Abdul Gani, lambat laun menjadi hubungan Syi’ar Islam, kerena beliau di setiap perbicangannya selalu di selipkan nuansa-nuansa ajaran Islam dan Nasihat-nasihat agama.

Selanjutnya bila beliau datang kerumah Bapak Andi Abdul Gani, beliau selalu melakukan sholat berjama’ah di Masjid Panji Islam yang ukurannya sangat kecil dan sedehana tetapi masih layak untuk di jadikan tempat beribadah, yang di dirikan oleh orang tuanya Bapak Andi Abdul Gani yang bernama Bapak Andi Abdurahman, setelah sekian lamanya mereka bersahabat, baru di ketahui bahwa beliau seorang Tuan Guru, sehingga Bapak Andi Abdul Gani beserta masyarakat setempat, meminta beliau untuk memberikan ceramah-ceramah agama pada masyarakat, saat itu Bapak Andi Abdul Gani adalah menjabat sebagai seorang kepala kampung (Bahasa Bugis : Metue) kemudian beliau menyepakati permintaan masyarakat tersebut, namun tetapi beliau menyarankan dan berpendapat agar kegiatan ceramah, sementara jangan dulu di lakukan di tempat-tempat umum seperti di masjid atau di mushalla, melainkan di lakukan dengan cara berkunjung dari rumah ke rumah (Baca Sasak : Ngamarin), kerena tidak semua masyarakat yang ingin dan senang mendengarkan ceramah-ceramah beliau. Menurut beliau dalam hal ini bagi masyarakat “ Jangan sekali-kali merasa di paksa untuk memahami agama Islam “, lebih lanjut alasan beliau karena situasi dan kondisi belum mendukung, karena lingkungan masyarakat setempat, masih banyak meyakini keyakinan adat Wetu Telu masih begitu kental saat itu.

Kemudian setiap beliau datang ke kampung bangsal Telaga Bagek, beliau selalu berda’wah dan membawa barang dagangannya seperti Benang, Kapas dan pakaian berupa kain, terkadang juga kedatangan beliau kerap kali menginap di Labuan Carik Desa Anyar, sehingga pada masa itu Bapak Andi Abdul Gani selalu membantu beliau di dalam melakukan kegiatan-kegiatan da’wahnya di sekitar wilayah Bayan.

Sedangkan di dusun Panggung Desa Selengen Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara (Baca : Sekarang), beliaulah yang pertama kali mendirikan Musholla di tepi pantai, dalam pendekatan dan interaksinya dengan masyarakat setempat, beliau penuh kesederhanaan, sopan, santun sehingga masyarakat banyak berguru kepada mereka terutama sekali berguru agama, pada dasarnya kedatangan beliau pada awalnya adalah sebagai pedagang, tetapi lambat laun beliau banyak di kenal oleh masyarakat sekitar sebagai seorang tokoh agama yang patut di teladani.

Sementara, kegiatan berdagang yang di lakukan oleh beliau ke Sembalun, beliau pertama kali berdagang ke wilayah tersebut, dengan membawa barang dagangan berupa pakaian, baju dan kain serta alat-alat Sholat, saat itu Sembalun juga masih kental dengan keyakinan adat Wetu Telu, dan teramat jarang di temukan masyarakat yang melaksanakan Sholat lima waktu,  ketika beliau melihat keadaan sembalun yang masih begitu jarangnya masyarakat menjalankan Sholat lima waktu, beliau dengan pelan-pelan mendekati masyarakat untuk mengajak Sholat, tetapi masyarakat menolaknya dengan berbagai bentuk alasan, penolakan tersebut “ bagaimana kami mau sholat, sementara kami tidak mempunyai pakaian untuk sholat,  dan kami belum bisa melaksanakan sholat . Mendengar jawaban yang di lontarkan oleh masyarakat Sembalun pada saat itu, kemudian beliau mengajarkan kepada beberapa orang tentang ilmu sholat dan memberikan pakain sholat, seperti sarung, baju, peci atau kopiah, mukna (Baca Sasak : Telkum) sedangkan pakaian-pakian yang di berikan kepada beberapa masyarakat setempat, merupakan barang dagangannya sendiri, tetapi begitu melihat keinginan masyarakat Sembalun untuk belajar sholat dan menggali ilmu agama, beliau rela walaupun mengalami kerugian secara ekonomi, dan menurut salah satu riwayat yang di ceritakan oleh H.Ibrahim kepada penulis, “ bahwa beliau seringkali membelikan pakaian sholat untuk masyarakat sembalun di toko Aikmel Lombok Timur “ , dan saya sendiri sering di ajak untuk ikut menemaninya berdagang, tetapi apa yang saya saksikan dan lihat saat itu, bahwa beliau tidak pernah mendapat keuntungan dari hasil berdagangnya, kalau tidak rugi, hanya modal yang kembali (Baca sasak : Pakpok).

Kegiatan syi’ar Islam yang di lakukan oleh beliau khususnya di wilayah Lombok Utara atau yang lebih di kenal dengan sebutan wilayah dayan gunung, di riwayatkan oleh Lalu Hasan B.A (Alm), salah seorang mantan Camat Bayan mengungkapkan kepada Penulis, bahwa beliau sebenarnya mulai datang dan melakukan kegiatan berda’wah di Bayan dan sekitarnya, pada saat itu masa Kedistrikan Raden Kertapati beliau mulai masuk wilayah dayan gunung, namun tetapi beliau di saat itu di kenal oleh masyarakat luas di samping sebagai penyi’ar agama Islam (Mublaig) beliau juga di samping berda’wah juga sebagai saudagar (Berdagang), kegiatan da’wah yang di lakukan oleh beliau dari rumah kerumah, karena pada saat itu masih teramat jarang kita temukan adanya Musholla dan Masjid, di samping itu pula mayoritas masyarakat Bayan masih meyakini keberadaan adat yakni Wettu Telu.

Melihat perkembangan da’wah beliau semakin lama semakin berkembang di Bayan, suatu ketika masyarakat asli Bayan pernah mengungkapkan dengan nada mengancamnya, agar da’wahnya tidak berkembang luas, karena di samping beliau di kenal sebagai penyi’ar agama juga sebagai pedagang, maka masyarakat asli Bayan tidak mau melakukan hubungan jual beli barang berupa bawang merah terhadap beliau, pemberlakukan ini tidak hanya di tujukan kepada beliau sendiri, bahkan  terhadap siapa saja pengusaha yang berasal dari Mamben saat itu, dan juga kepada pengusaha yang sudah lama bertempat tinggal di Bayan, karena pada saat itu warga Mamben mayoritas menjadi pengusaha bawang merah, ancaman tersebut di sebabkan oleh kegiatan da’wah beliau semakin hari-semakin berkembang, sehingga masyarakat asli Bayan beranggapan, bahwa kegiatan da’wah beliau akan dapat merusak tatanan adat dan keyakinannya secara perlahan-lahan, namun tetapi ancaman tersebut tidak terjadi, dan kegiatan jual beli hasil bumi berupa bawang merah tetap berjalan sebagaimana biasanya, karena antara masyarakat setempat selaku petani saling membutuhkan satu sama lain yakni pengusaha (Saudagar). Dan merekapun berpikir, Kemana lagi bawang merah tersebut akan di jual, kalau tidak kepada pengusaha yang berasal dari Mamben, sejak saat itu pula kegiatan da’wah beliaupun semakin bertambah berkembang di Bayan, yang pada akhirnya orang tua saya berkeinginan menyerahkan sebagian tanahnya untuk di wakafkan sebagai sarana pendidikan menjadi Madrasah Ibtidaiyah Maraqitta’limat Anyar didirikan pada tahun 1969. Madrasah inilah yang pertama kali didirikan di wilayah Lombok Utara (Dayan Gunung), yang sekarang menjadi Madrasah Ibtidiyah Maraqitta’limat Anyar, yang berlokasi di sebelah kantor Camat Bayan.(Sumber Lalu Hasan, BA) .

Melihat perkembangan da’wah beliau di berbagai wilayah pelosok, seperti wilayah Mamben Lauk, seperti Dusun Tembeng, Bandok, Ladon, Lengkok, Lendang Karang, Orong Bukal, Lendang Belo, Orong Rantek, Tirpas, Sukereme, Penanggak, Mamben Daya, Gelumpang, Kali Bening, Renge, Bageq Longgeq, Ombe, Dasan Bembeq, Erot, Kalijaga, Suwela, Ketangga, Sapit dan lain sebagainya, kemudian di lanjutkan kedaerah Sembalun, Sajang, Sambalia, Belanting, Obel-Obel, Lokoq Aur, Anyar, Sukadana, Panggung, Sidutan, Sesait, Santong, Bongor dan sebagainya.

Mengingatkan kita akan perjalanan beliau dalam berda’wah di masing-masih pelosok daerah tersebut, bukan berarti perjalanan perjuangan beliau berjalan mulus, semulus kata-kata dan kalimat yang tersusun dalam buku ini, namun berbagai tantangan dan rintanganpun di hadapi oleh beliau, terutama tantangan dan rintangan dari orang-orang yang tidak suka dan benci terhadap perjuangan beliau, bahkan adapula yang melempari beliau dan ingin berencana membunuh beliau, namun jiwa dan tekad yang bulat untuk menyebarkan Agama Allah SWT di pulau Lombok ini terus di lakukannya, sehingga semangat beliau semakin kuat dan tidak pernah gentar apalagi mundur setapakpun untuk menghadapi dan melawan segala rintangan yang terjadi, namun beliau dalam menyikapi dan mengahadapi  tantangan dan rintangan selalu di sikapi dengan sikap yang penuh bijak. ( dlan : di Entri tanggal 06 Januari 2013 )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar