”Wahai
anak-anakku pelajarilah ilmu, maka apabila kamu sekalian berada di
tengah-tengah ilmu kamu bisa memimpin, dan apabila kamu bisa menyediakan ilmu
kamu bisa hidup.” (Khalifah Abdul Malik bin Marwan).
Tahun 60-an ada
perbincangan yang menarik antara Prof Deliar Noer dengan Kiyai Zarkasyi. ”Cuma
ada pesan saya...kan pak Natsir tidak boleh berpolitik,”kata Kiyai Zarkasyi
kepada Deliar Noer.”Sekurang-kurangnya walau tak resmi, namun langkahnya dalam
berpolitik terlambat. Saya ada pesan,”lanjutnya, dan minta agar disampaikannya
ke Pak Natsir. ”Saya ingat Ki Hajar Dewantoro,”kata Kiyai Zarkasyi.
”Setelah ia kembali dari Belanda dan tidak boleh bergerak aktif dalam bidang
politik, ia membatasi dirinya bergerak dalam bidang sosial, khususnya dalam
pendidikan. Ia mendirikan Taman Siswa, dan ia berhasil dengan usahanya ini.
Saya berpikir apakah setidaknya Pak Natsir tidak berbuat hal yang seperti
ini,”kata Kiyai Zarkasyi. ”Ia seorang pemimpin: bisa di bidang politik dan
sosial. Tetapi asalnya juga dari bidang pendidikan.”
Dan, Kiyai Zarkasyi
menyebut-nyebut kegiatan Natsir di jaman Belanda dengan sekolah-sekolah
Pendis-nya (Pendidikan Islam) di Bandung, terdiri dari TK, HIS, MULO dan HIK.
Menurut Kiyai Zarkasyi, Pendis ini sedikit banyak berhasil. ”Kalau tidak Jepang
masuk,”tambahnya,”tentu sekolahan tersebut akan berkembang.”
”Dan kini
dalam bidang politik, Pak Natsir mendapat hambatan,”sambung pendiri Gontor
ini,”Alihkan perhatian penuh ke bidang yang agaknya lebih perlu dikelola,”katanya
tegas. ”Dan saya harap,”sambungnya,”Saudara menyampaikan ini kepada beliau.” Ia
menambahkan bahwa orang seperti Pak Natsir, dana pun akan tiba. Dan
dengan pendidikan usahanya akan lebih nyata, kebebasan juga akan lebih
terpelihara...begitu saya kembali dari Gontor, permulaan tahun 1970-an itu,
pesan Kiyai Zarkasyi sempat saya sampaikan kepada Pak Natsir. (Prof. Dr. Deliar Noer dalam KH
Imam Zarkasyi di Mata Umat, Gontor Press, 1996, 643-644)
Politik
Kehidupan
politik Indonesia saat ini cenderung materialistis. Uang dan jabatan menjadi
motivasi dan tujuan akhir. Dalam pemilihan ketua partai (kecuali sebagian
kecil), bupati, gubernur, bahkan presiden uang menjadi faktor utama penentu
keberhasilan. Bukan ilmu, kapabilitas calon dan adab atau akhlak yang baik yang
dimiliki sang calon.
Padahal ilmu
dan adab pemimpin politik itu menjadi syarat utama dalam memimpin masyarakat.
Ulama Melayu terkemuka, Syekh Ahmad al Fathani mencirikan sifat-sifat yang
mesti dimiliki pemimpin politik. Diantaranya: sempurna anggota (indera), baik
budi pekerti, baik kefahaman, cerdik/bijaksana, faham terhadap sekalian ilmu
terutama ilmu berhitung dan ilmu tarikh, benar dalam perkataan dan menjauhkan
kebohongan, elok perlakuan muamalat, berkelakuan yang lembut, dalam perjumpaan
selalu memberikan kelapangan, tidak tamak pada makanan, minuman dan perkawinan,
menjauhi bermain-main dalam segala urusan, mempunyai ketinggian himmah
(cita-cita), bersungguh-sungguh pada membangun kerajaan, mencintai keadilan,
benci kezaliman, mempunyai hati yang tabah dan berani dan mengetahui sekalian
muslihat.”
Pentingnya
ilmu politik ini, dikemukakannya pada kitab Hadiqatul
Azhar : ”Muhimmah, pada bicara ilmu siasat (politik). Yaitu ilmu
memperbaiki rakyat dengan menunjukkan mereka itu kepada jalan yang melepaskan
mereka itu daripada tiap-tiap kekeruhan pada dunia dan akherat..maka hukumnya
ilmu itu wajib kifayah.” (Wan Mohd Saghir: 1992, 103).
Masalahnya,
dalam ilmu politik sekuler saat ini, masalah akherat tidak dimasukkan sebagai
urusan negara. Akherat tidak dijadikan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan politik dan inilah awal malapetaka politik di Indonesia dan
negeri-negeri Islam lainnya. Sehingga suap, ingkar janji, kebohongan, hasad,
tamak, riya’ menjadi tontotan politik sehari-hari.
Padahal
dahulu bila para ulama memberikan nasehat kepada raja atau sultan selalu
diawali dengan nasehat agar para pemimpin itu mula-mula bertakwa kepada Allah,
taat kepada Rasul-Nya dan seterusnya. Dulu, dalam sejarah Islam, Jendral
Abdullah bin Husain, ketika menasihati anaknya, maka dia menulis agar agar
ingat kepada Allah SWT, ingat hari pembalasan, orang miskin dan sebagainya.
Apakah ada jenderal sekarang ini yang menasihati anaknya demikian? Juga ketika
khalifah Ali bin Abi Thalib menasihati kepada gubernurnya. Ia
menasihatkan tentang pentingnya ketakwaan kepada Allah SWT, perhatian kepada
orang miskin, jangan terpengaruh godaan dunia dan lain-lain. Apakah ada
sekarang ulama atau pejabat yang menasihatkan seperti itu?
Politik dan Pendidikan Islam
Dalam era kehidupan
politik yang sekuler saat ini, juga ditandai dengan munculnya pemimpin-pemimpin
palsu dalam segala bidang. Pemimpin-pemimpin ini hanya mampu mengulang-ulangi
praktek pendidikan yang yang datang atau dipengaruhi sepenuhnya oleh Barat.
Intelektual terkemuka Melayu, Syed Muhammad Naquib al Attas mengemukakan dalam
bukunya Risalah untuk Kaum
Muslimin : ”Saluran yang melancarkan penyelundupan faham-faham
asasi yang asing itu adalah sistem pembelajaran dan pendidikan yang
dikuatkuasakan oleh kuasa-kuasa politik serta gejala-gejala pentadbirannya, dan
seterusnya dibantu oleh golongan para guru dan pensharah dan golongan penulis
yang menyamarkan faham-faham itu sebagai hasil sastera. Dan betapakah
lagi kacaunya andaikata orang-orang yang mewakili kuasa-kuasa tersebut, dan
guru dan pensharah dan penulis itu tiada pula memahami serta mengenali
dan mengetahui benar-benar sifat serta hakikat kandungan faham-faham yang
dikuatkuasakan dan dianjurkannya itu! Kaum Muslimin harus insaf bahawa sebahagian
besar mereka yang memainkan peranan dalam menyebarkan kekeliruan dan kepalsuan
ini –baikpun secara disedari mauhupun tiada disedari—merupakan orang-orang yang
bukan sahaja tiada memahami serta mengenali dan mengetahui benar ilmu
kebudayaan Barat, bahkan jua yang tiada mempunyai ilmu keislaman, dan yang
pengetahuan serta amalan Islamnya sangat-sangatlah menyedihkan sebab sekadar
yang bertaraf kebudak-budakan belaka. Padahal golongan-golongan ini
dibiarkan –malah diberi amanah—oleh kaum Muslimin untuk memimpinnya dalam
pelbagai lapangan kehidupan!”
Lebih lanjut Prof
al Attas menasehatkan: ”Janganlah hendaknya kau fikir –wahai saudaraku
Muslimin—bahwa sekarang ini kononnya dengan tersingkirnya ciri-ciri zahiriah
kolonialisme kebudayaan Barat, pemimpin-pemimpin kita yang Islam yang telah
kita amanahkan untuk menjalankan tugas membimbing masyarakat kita itu, memang
benar-benar menunaikan tugas mereka dengan secara yang tiada berlawanan dengan
Islam. Kau harus insaf bahwa kebanyakan mereka itu mewarisi ilmu serta
cara berfikir kolonial yang jahil terhadap Islam. Mereka belum lagi
berhasil menunaikan syarat-syarat serta pencapaian ilmu yang fardhu ain di sisi
Islam, dan boleh dikatakan langsung sunyi daripada ilmu pengetahuan Islam yang
harus dianggap sebagai fardhu kifayah yang terutama bagi mereka, maka betapakah
dapat mereka itu menghindarkan diri dan masyarakatnya terpesong (terperosok) ke
jalan yang sesat!”
Dalam bidang
ilmu pengetahuan yang merujuk kepada pendidikan dan pelajaran, kata al Attas,
pemimpin-pemimpin kita yang bertanggungjawab mengenainya tiada sadar bahwa
banyak yang diajarkan di sekolah-sekolah dan pusat-pusat pengajian tinggi itu
bukanlah ilmu pengetahuan, akan tetapi ilmu yang batil yang berselaputkan
dugaan yang mensia-siakan masa dan mengelirukan fikiran dan diri penuntutnya
Prof Wan Mohd
Nor Wan Daud, Guru Besar Casis-UTM Malaysia, menjelaskan lebih jauh, bahwa
perubahan yang terpenting dalam pendidikan adalah perubahan pendidikan di
tingkat tertinggi khususnya S3, S2 dan S1. “Ini bukan bersifat elitis yang
negatif, tapi elitis yang stratejik. Pendidikan mengubah orang dewasa dahulu.
Yakni kalau orang dewasa telah berubah, maka anak-anak akan berubah. Semua
anbiya’ diturunkan untuk mengajar kepada orang-orang dewasa. Dan mereka menyadarkan
pemimpin-pemimpn politik tertinggi saat itu. Karena itu kita mendirikan ISTAC
dulu, juga Prof Al-Attas ketika tahun 70-an Seminar di Mekkah tentang
Pendidikan, mengingatkan tentang pentingnya Universitas. Bila universitas telah
dibereskan, maka sekolah-sekolah menengah juga akan beres. Sebab guru-guru
sekolah menengah dari universitas juga, pegawai-pegawai kantor juga
universitas, paling kurang S1. Kalau fokus di level bawah, maka perubahan itu
tidak akan berlaku dengan sebaik-baiknya. Orang-orang Barat faham akan hal itu.
Mereka tidak menggarap SD, atau sekolah menengah, tapi menggarap di tingkat
universitas.”
Sejarah Islam
Dalam zaman
Umawiyah tampak sekali bahwa tujuan pendidikan selain untuk kepentingan agama
juga untuk kepentingan sosial. Umpamanya Abdul Malik bin Marwan berkata
kepada anak-anaknya,”Wahai anak-anakku pelajarilah ilmu, maka apabila kamu
sekalian berada di tengah-tengah ilmu kamu bisa memimpin, dan apabila kamu bisa
menyediakan ilmu kamu bisa hidup.” Orang mengetahui bahwa pada waktu itu banyak
ulama mengajar anak-anak khalifah dan orang-orang dari kelompok atas, syair,
sejarah, juga sejarah orang-orang Arab, nenek moyang mereka dan
tindakan-tindakan mereka yang hebat-hebat.
Adapun dalam zaman
Abasiyah, maka kedudukan ulama adalah tinggi sekali. Para khalifah
menghormati para ulama dan ditempatkan pada tempat yang tinggi sesuai dengan
ilmunya. Inilah sebabnya mengapa orang-orang giat belajar supaya mereka
memperoleh kedudukan yang baik. Perlu diketahui bahwa para ulama itu pada
umumnya dari kalangan orang-orang miskin dan rakyat biasa. Lalu mereka
meningkat karena ilmunya kepada tingkatan yang tinggi. Ahli syair Abul
Itahiyah asalnya adalah tukang batu, Abu Tamam asalnya adalah penjual air di
masjid Amr. Ayah Bashar adalah orang yang membikin alat dari tanah, al
Jahiz penjual roti dan ikan, az Zajjaz tukang menulis di kaca, dan bapak al
Ghazali penenun bulu. (KH
Imam Zarkasyi di Mata Umat, hal. 928)......di Entri tanggal 06 Januari 2013 oleh Adlan Mamnun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar