Bukti
penting keberadaan masyarakat adat paer bayan dalam pengelolaan sumberdaya
hutan adalah adanya tanah ulayat dan hutan adat, di berbagai desa di kecamatan
bayan.
masih di jumpai tanah
ulayat yang di sebut dengan tanah Pauman Gubuq dan Gontor Paer,
tetapi secara umum tahan ulayat tersebut di kelola dengan sistem, Pertama
anggota masyarakat adat dapat menggarap tanah ulayat dengan catatan penggarap
harus memberikan sebagian hasilnya ( Gunja ) yang di peruntukkan sebagai
sumbangan kepada pejabat lembaga adat dan untuk kebutuhan upacara adat, Kedua
tanah ulayat di kelola langsung oleh pejabat lembaga adat sebagai
pecatu yang di gunakan untuk menghidupi keluarganya dan untuk kebutuhan upacara
adat.
Wujud lain dari tanah ulayat tersebut adalah adanya
hutan adat, masyarakat adat Paer Bayan pada dasarnya tidak mengenal istilah
Hutan, tetapi masyarakat adat Paer Bayan menyebutnya “ Pawang “, sementara
yang di kenal hanya Pawang Adat ( Hutan Adat ) dan Pawang Tutupan (
Baca Sekarang : Kawasan Hutan Konservasi Taman Nasional Gunung Rinjani ),
sedangkan sebagai pembatas ( Batas ) hutan adat dengan hutan tutupan di kenal
dengan Pal Belanda dan Pal Sukarano, sebelumnya kedua hutan tersebut baik
Pawang Adat dan Pawang Tutupan merupakan bagian wilayah pemerintahan adat Paer
Bayan di masa lampau sampai batas pinggir pantai, yang di kelola secara turun
temurun, tetapi setelah adanya pembatas Pal Belanda dan Pal Sukarno, kemudian
masyarakat adat Paer Bayan hanya memanfaatkan kawasan hutan di luar lokasi ke
dua Pal tersebut, kawasan hutan adat yang berada di luar lokasi Taman Nasional
Gunung Rinjani tersebut masih ada dan masih utuh serta di pertahankan sampai
sekarang.
Hutan atau Pawang bagi masyarakat adat Paer Bayan di
yakini suatu hal yang sangat sacral, karena hutan sebagai sumber kehidupan,
sebagai pemanggil atau yang mendatangkan hujan, sebagai tempat melaksanakan
acara ritual adat sebab di dalamnya terdapat situs-situs adat, dalam keyakinan
masyarakat adat Paer Bayan dengan kawasan hutan memiliki hubungan yang sangat
kuat, di mana hutan sebagai “ Media pendekatan diri kepada Sang Pencipta Alam ,
sehingga keberadaan hutan di yakini tidak hanya sebagai bentuk fisik tetapi
sebagai relegi, di samping itu hutan juga di yakini sebagai sumber pensuplai
air, masyarakat adat Paer Bayan juga percaya bahwa di kawasan hutan tersebut,
ada mahluk hidup lainnya yang sama-sama memiliki hak untuk hidup “ dengan
alasan yang dimikian itu masyarakat sangat menghormati kawasan hutan sebagai
salah satu wilayah yang harus di lindungi, kemudian untuk melakukan
perlindungan terhadap kawasan hutan masyarakat adat Paer Bayan dengan
aturan-aturan adat atau Pranata sehingga
sistem Pengelolaan hutan bagi komunitas masyarakat adat bayan berpedoman pada
Folosofi Adat Paer Bayan dalam bentuk Sistim “ Pemerintahan Adat Gama “ yang
berarti Tunduk, Taat dan patuh kepada tiga hukum yaitu Hukum Pemerintahan yang
di emban atau di pangku oleh Pemekel, Hukum Adat yang di emban atau di pangku
oleh Penganggo Adat ( Maq Lokaq ) dan Hukum Agama yang di emban atau di pangku
oleh Keyai, sistim pemerintahan adat agama ini juga di sebut “
Wettu Telu “ yang berarti Wet = Batas/Wilayah, Tu/Tau = Orang dan Telu = Tiga yaitu Pemekel,
Penganggo Adat dan Kiyai.
Padangan dari ketiga hukum yang di emban oleh ketiga
kepemangkuan tersebut yang memiliki makna bahwa dalam kehidupan ini terdapat
kesimbangan hubungan yang di yakini oleh masyarakat adat paer bayan, yaitu : Hubungan
antar Tuhan dan Manusia, kemudian Hubungan manusia dengan sesama manusia serta
Hubungan manusia dengan alam. Sedangkan urgensi dari folosofi adat Wettu
Telu dalam sistem pengelolaan hutan yang di yakini sebagai bentuk inplementasi
hubungan manusia dengan alamnya yang patut di syukuri sebagai pemberian atas
rahmat Tuhan berupa potensi hutan dan isi yang ada di dalamnya untuk kemudian
wajib hukumnya untuk di pelihara, di jaga dan di lestarikan karenanya dari potensi
Hutan tersebut akan memberikan kehidupan dan mendatangkan banyak manfaat bagi
keselematan manusia beserta mahluk-mahluk yang lainnya.
Namun sebaliknya apabila potensi hutan tidak di
pelihara, di jaga dan di lestarikan maka akan mendatangkan malapetaka bagi
kehudupan, baik manusia maupun mahluk yang lainya, oleh sebab itu masyarakat
adat melalui filosofi adat yang di yakininya dalam rangka pengelolaan hutan di
wujudkan dalam bentuk Pelaksanaan Kegiatan-Kergiatan ritual adat, Penjagaan
kawasan hutan oleh Maq Lokaq, Penegakan aturan ( Awiq-Awiq ) serta
pemanfaatan potensi hutan secara komunal dengan mempertimbangkan kelestarian
lingkungan atas izin para toaq lokaq ( Penganggo adat ) sesuai hukum atau
aturan adat yang berlaku.