Sabtu, 05 Januari 2013

Sistem Pengelolaan Hutan Adat Bayan


Bukti penting keberadaan masyarakat adat paer bayan dalam pengelolaan sumberdaya hutan adalah adanya tanah ulayat dan hutan adat, di berbagai desa di kecamatan bayan.

masih di jumpai tanah ulayat yang di sebut dengan tanah Pauman Gubuq dan Gontor Paer, tetapi secara umum tahan ulayat tersebut di kelola dengan sistem, Pertama anggota masyarakat adat dapat menggarap tanah ulayat dengan catatan penggarap harus memberikan sebagian hasilnya ( Gunja ) yang di peruntukkan sebagai sumbangan kepada pejabat lembaga adat dan untuk kebutuhan upacara adat, Kedua tanah ulayat di kelola langsung oleh pejabat lembaga adat sebagai pecatu yang di gunakan untuk menghidupi keluarganya dan untuk kebutuhan upacara adat.


 

Wujud lain dari tanah ulayat tersebut adalah adanya hutan adat, masyarakat adat Paer Bayan pada dasarnya tidak mengenal istilah Hutan, tetapi masyarakat adat Paer Bayan menyebutnya “ Pawang “, sementara yang di kenal hanya Pawang Adat ( Hutan Adat ) dan Pawang Tutupan ( Baca Sekarang : Kawasan Hutan Konservasi Taman Nasional Gunung Rinjani ), sedangkan sebagai pembatas ( Batas ) hutan adat dengan hutan tutupan di kenal dengan Pal Belanda dan Pal Sukarano, sebelumnya kedua hutan tersebut baik Pawang Adat dan Pawang Tutupan merupakan bagian wilayah pemerintahan adat Paer Bayan di masa lampau sampai batas pinggir pantai, yang di kelola secara turun temurun, tetapi setelah adanya pembatas Pal Belanda dan Pal Sukarno, kemudian masyarakat adat Paer Bayan hanya memanfaatkan kawasan hutan di luar lokasi ke dua Pal tersebut, kawasan hutan adat yang berada di luar lokasi Taman Nasional Gunung Rinjani tersebut masih ada dan masih utuh serta di pertahankan sampai sekarang.

Hutan atau Pawang bagi masyarakat adat Paer Bayan di yakini suatu hal yang sangat sacral, karena hutan sebagai sumber kehidupan, sebagai pemanggil atau yang mendatangkan hujan, sebagai tempat melaksanakan acara ritual adat sebab di dalamnya terdapat situs-situs adat, dalam keyakinan masyarakat adat Paer Bayan dengan kawasan hutan memiliki hubungan yang sangat kuat, di mana hutan sebagai “ Media pendekatan diri kepada Sang Pencipta Alam , sehingga keberadaan hutan di yakini tidak hanya sebagai bentuk fisik tetapi sebagai relegi, di samping itu hutan juga di yakini sebagai sumber pensuplai air, masyarakat adat Paer Bayan juga percaya bahwa di kawasan hutan tersebut, ada mahluk hidup lainnya yang sama-sama memiliki hak untuk hidup “ dengan alasan yang dimikian itu masyarakat sangat menghormati kawasan hutan sebagai salah satu wilayah yang harus di lindungi, kemudian untuk melakukan perlindungan terhadap kawasan hutan masyarakat adat Paer Bayan dengan aturan-aturan adat atau Pranata  sehingga sistem Pengelolaan hutan bagi komunitas masyarakat adat bayan berpedoman pada Folosofi Adat Paer Bayan dalam bentuk Sistim “ Pemerintahan Adat Gama “ yang berarti Tunduk, Taat dan patuh kepada tiga hukum yaitu Hukum Pemerintahan yang di emban atau di pangku oleh Pemekel, Hukum Adat yang di emban atau di pangku oleh Penganggo Adat ( Maq Lokaq ) dan Hukum Agama yang di emban atau di pangku oleh Keyai, sistim pemerintahan adat agama ini juga di sebut “ Wettu Telu “ yang berarti Wet = Batas/Wilayah, Tu/Tau  = Orang dan Telu = Tiga yaitu Pemekel, Penganggo Adat dan Kiyai.

Padangan dari ketiga hukum yang di emban oleh ketiga kepemangkuan tersebut yang memiliki makna bahwa dalam kehidupan ini terdapat kesimbangan hubungan yang di yakini oleh masyarakat adat paer bayan, yaitu : Hubungan antar Tuhan dan Manusia, kemudian Hubungan manusia dengan sesama manusia serta Hubungan manusia dengan alam. Sedangkan urgensi dari folosofi adat Wettu Telu dalam sistem pengelolaan hutan yang di yakini sebagai bentuk inplementasi hubungan manusia dengan alamnya yang patut di syukuri sebagai pemberian atas rahmat Tuhan berupa potensi hutan dan isi yang ada di dalamnya untuk kemudian wajib hukumnya untuk di pelihara, di jaga dan di lestarikan karenanya dari potensi Hutan tersebut akan memberikan kehidupan dan mendatangkan banyak manfaat bagi keselematan manusia beserta mahluk-mahluk yang lainnya.

Namun sebaliknya apabila potensi hutan tidak di pelihara, di jaga dan di lestarikan maka akan mendatangkan malapetaka bagi kehudupan, baik manusia maupun mahluk yang lainya, oleh sebab itu masyarakat adat melalui filosofi adat yang di yakininya dalam rangka pengelolaan hutan di wujudkan dalam bentuk Pelaksanaan Kegiatan-Kergiatan ritual adat, Penjagaan kawasan hutan oleh Maq Lokaq, Penegakan aturan ( Awiq-Awiq ) serta pemanfaatan potensi hutan secara komunal dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan atas izin para toaq lokaq ( Penganggo adat ) sesuai hukum atau aturan adat yang berlaku.