Sabtu, 05 Januari 2013

Sejarah Masyarakat Adat Bayan



Sejarah Adat Paer Bayan di masa lampau, memang belum ada bukti-bukti sejarah yang telah di akui secara antropologi, meski demikian ada beberapa versi yang tertuang dalam bentuk catatan-catatan peninggalan para pendahulu masyarakat bayan.



 

Seperti Lontar, dalam bentuk babad-babad, ataupun kitab-kitab kuno, salah satu kitab yang cukup di kenal yaitu kitab yaitu kitab Kotara Gama yang di tulis oleh Empu Prapanca pada pupus ke 14 pada masa kerajaan Majapahit, yang menceritakan berbagai sistim sosial dan sistim pemerintahan pada masa lampau, selain versi dari kitab Kotara Gama ada beberapa versi seperti Babad kitab Suwung dan Babad Lombok, pada babad Suwung sendiri lebih banyak menceritakan tentang sejarah asal usul masyarakat Asli Lombok, sedangkan pada Babad Lombok menceritakan tentang asal usul masyarakat lombok pada versi yang berbeda, ada juga beberapa sumber yang berkembang di kalangan masyarakat Sasak ( Baca : Lombok ), khususnya tentang Babad Bayan yang memiliki korelasi dengan kitab Tapal Adam, ini cenderung menceritakan pada pendekatan tentang kejadian manusia berdasarkan keyakinan yang selama ini di akui kebenarannya dalam masyarakat Islam di bayan, namun itu lebih pada tingkat penafsiran dari masyarakat bayan bahwa para wali songo dan para pedagang dari timur tengah yang menyebarkan agama islam di wlayah bayan, hal ini di buktikan dan di tandai dengan adanya pelabuhan Labuan Carik di desa Anyar dan Pelabuhan Lokok Uringin di Barung Birak Desa Sambik Elen, yang di jadikan sebagai tempat persinggahan para wali songo dan para pedagang timur tengah yang mengemban misi penyebarluasan Islam di pulau Lombok tersebut.

Dalam versi yang berbeda di yakini perkembangan masyarakat bayan sudah berkembang pesat dan maju sejak 3000 tahun yang silam, jika di lakukan analisis kesejaharahan dalam kurun waktu tersebut sebenarnya perkembangan masyarakat bayan sama tuanya dengan perkembangan sejarah kerajaan Sriwijaya sekitar abad ke 12, itu artinya kehidupan masyarakat bayan boleh di bilang sama tuanya dengan kehidupan pada masa kerajaan Sriwijaya di wilayah Sumatera, di perkirakan pada masa itu pula, tata cara kehidupan memang belum terorganisir secara baik dan masyarakat masih lebih menggantungkan hidupnya pada kekuatan alam, mereka memiliki keyakinan kekuatan alam menjadi satu-satunya tempat menggantungkan kehidupannya ( Baca : Animisme ).

Bukti-bukti lain yang bisa di jadikan dasar adalah cerita-cerita rakyat dari para orang tua, baik tentang Sigar Penjalin, Tameng Muter, Temelaq Mangan dan cerita-cerita rakyat lainnya, cerita tersebut di ceritakan dan berkembang secara turun temurun, kesemua cerita ini berkisah tentang hubungan masyarakat Lombok dengan kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit dan kerajaan Karang Asem Bali, pada masa lampau masyarakat bayan masih menganut kepercayaan Animisme hingga kepercayaan agama Hindu dan Budha, sementara kemunculan Islam di Lombok yang di ungkapkan oleh Raden Asjanom ( Tokoh Adat Bayan ) bahwa pengaruh masuknya Islam pertama kalinya melalui Bayan sebagai pintu masuknya Agama Islam yang di bawa oleh seorang Wali Songo dari Jawa yaitu Sunan Perapen pada akhir abad ke 14, sehingga masyarakat Paer Adat Bayan  memiliki Palsafah hidup atau pandangan hidup “ Pilosofi Adat Paer Bayan “ yaitu tentang asal usul kejadian kehidupan di muka bumi ini, yang dalam keyakinannya bahwa siklus kehidupan manusia melalui 3 ( Tiga ) tahapan yaitu : 1) Lahir ( Metu atau Araq ), 2). Hidup ( Idup ), dan  3). Mati ( Mate ), jadi asal kelahiran dan keberadaan mahluk ciptaan Tuhan di dunia ini melalui tiga pula asal-muasalnya yaitu : Tumbuh ( Meniok ), Bertelur ( Menelok ) dan  Melahirkan ( Menganak ), arti asal mula tumbuh berupa tumbuh-tumbuhan, bertelur berupa binatang dan burung serta melahirkan berupa manusia dan binatang menyusui, sehingga dalam pelaksanaan pemerintahan adat paer bayan pandangan hidup atau palsafah hidup masyarakat adat bayan menjadikannya sebagai petunjuk bahwa manusia dalam perjalanan hidupnya senantiasa tunduk dan taat pada 3 ( tiga ) unsur hukum yaitu : Hukum Pemerintahan, Hukum Adat dan Hukum Agama

1.      Hukum Pemerintahan atau aturan pemerintahan di laksanakan oleh  Pemekel atau Mekel ( Pemegang Pemerintahan ).
2.      Hukum Adat atau aturan adat yang pelaksanaannya di lakukan oleh para Toaq Lokaq atau Penganggo adat ( Pemegang Adat ).
3.      Hukum Agama atau aturan agama yang pelaksanaan syariatnya oleh Kyai Penghulu ( Pemegang Agama ).

Merujuk pada pelaksanaan pandangan hidup masyarakat adat bayan yang taat dan tunduk pada 3 ( Tiga ) hukum tersebut terjadi adanya pembagiaan kekuasaan untuk menjalankan roda kelembagaan pemerintahan adat, yang memiliki kekuasan tertinggi dalam Musyawarah Besar Adat ( Gundem Bleq ), yang terdiri dari para Toaq Lokaq adat ( Tokoh ).

Dalam jabatan pemerintahan adat Paer Bayan yang di pegang atau di pangku oleh seseorang di sebut dengan Pemangku Pemerintahan Adat Paer Bayan, sehingga para pemegang pemerintahan adat paer bayan baik yang berfungsi struktural ( Fungsional ) maupun berfungsi khusus 9 Fungsi Spsialis ), maka apabila dari kalangan masyarakat Bangsawan dalam jawatan pemegang adat pada wilayah tertentu atau paer maka di panggil Raden atau Den ( Mamiq ), sedangkan apabila dari kalangan masyarakat biasa atau jajar karang dalam jawatan pemegang adat pada wilayah tertentu atau paer maka di panggil Amaq atau Maq ( Maq Lokaq ), sedangkan dalam pemerintahan adat yang mencakup keseluruhan wilayah kekuasan pemerintahan Adat Bayan di sebut dengan  “Adat Paer Bayan “, yang di pimpin atau di pangku oleh seorang Raja yaitu Susngsungan Agung Kerajaan Bayan yang berpusat di Bayan Timur ( Bayan Timuq Orong ), dari keturunan raja inilah sehingga sampai sekarang di sebut dengan Mangku atau Den Mangku.

Pemerintahan Adat Paer Bayan secara struktural memiliki Pemangku Adat atau Mangku yang di sebut dengan “ Pemekel Bleq “ ( Den Mangku ) yaitu sebagai pemegang peranan tertinggi dalam pemerintahan adat paer bayan ( Top Laider ), kemudian Pemekel Bleq tersebut memiliki Empat Pemekel-an, terdiri dari Pemekel Bayan Timur, Pemekel Loloan, Pemekel Bayan Barat dan Pemekel Karang Bajo, kemudian pemekel-pemekel tersebut memiliki kewenangan dan wilayah kekuasan tertentu, sehingga keberadaan keseluruhan kepemekelan dalam pemerintahan adat paer bayan di sebut dengan “ Pemekel Adat Bayan Bleq “, jadi kepemekelan tersebut yang menjalankan tugas, fungsi dan wewenang pemerintahan ( Hukum Pemerintahan) di paer bayan, selanjutnya di bawah pemekel adat bayan bleq terdapat Penganggo adat ( Toaq Lokaq ) yaitu orang yang di tua-kan sebagai pemegang dan Pemeran adat bayan secara fungsional maupun fungsi spesialisasi secara keseluruhan pemegang dan pemeran adat ( Pemomong ), inilah yang menjalankan kegiatan pelaksanaan Adat ( Hukum Adat ) paer bayan, akan tetapi baik kedudukan pemekel maupun penganggo adat ( Toaq Lokaq ) tersebut mempunyai kewajiban hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan masalah Ke-dunia-an saja.

Sedangkan kegiatan pelaksanaan adat bayan yang bersifat Ke-agama-an di pegang dan di jalankan oleh Keyai, kedudukan keyai tersebut tidak termasuk dalam struktural pemerintahan adat bayan tetapi kedukukan keyai terpisah, karena hal ini terjadi di sebabkan oleh seiring dengan masuknya agama islam di bayan, maka jabatan adat juga di isi dengan jabatan yang mengurusi masalah keagamaan dalam hal ini adalah keyai, sedangkan fuingsi dan tugasnya hanya mengurus bidang-bidang agama yang berhubungan dengan Akhirat, jadi lebih cenderung fungsinya keyai mengurus agama ( Gama ) dan tidak mengurus masalah keduniaan seperti pemerintahan dan hukum adat, namun tetapi dalam jabatannya sebagai keyai yang mengurisi kegiataan keagamaan selalu di fungsikan pada setiap pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan adat, karena keyai di anggap orang-orang yang suci yang mampu memberikan pencerehan moral dan kesejukan bathin bagi masyarakat adat paer bayan dengan prinsif pendekatan pada sang pencipta alam yaitu Tuhan Yang Maha Esa, keberdaan keyai tersebut dalam kehidupan dan pelaksanaan pemerintahan paer adat bayan tidak dapat di pungkiri, karena hal ini sebagai salah satu bentuk bukti terjadinya dinamika sejarah dalam tataran perubahan dan perkembangan pemerintahan adat paer bayan di masa kerajaan dulu, sehingga pelaksanaan pemerintahan adat Paer bayan di sebut juga bentuk pemerintahan Adat dan Agama ( Adat Gama ).

Keyai Paer Bayan terdiri dari “ Keyai Keagungan “ dan “ Keyai Santri “, keyai keagungan yang terdiri dari empat keyai di antaranya adalah Keyai Pengulu, Keyai Lebe, Keyai Ketib dan Keyai Modin, sedangkan keberadaan Keyai Santri sebagai pengikut ( Penyangkol ) dari empat keyai keagungan tersebut, peruntukan keyai santri sebagai pengikut atau penyangkol boleh lebih tetapi tidak boleh kurang, dengan proporsi sebagai berikut : Keyai Pengulu 20 orang keyai santrinya, Keyai Lebe 10 orang santrinya dan Keyai Ketib 6 orang, khusus untuk Keyai Mudin tidak memiliki Keyai santri, fungsi dan perannya masing-masing keyai dalam pelaksanaan kegiatan adat yang menyangkut keagama-an seperti, Kayai Penghulu mengurus Perkawinan dan Penceraian, Kayai Lebe tugasnya berda’wah atau bersyi’ar islam, Keyai Ketib tugasnya menjadi khatib pada sholat jum’at dan lebaran kemudian Keyai Mudin tugasnya memimpin dan membawa Do’a.

Keempat Keyai Paer Bayan yang di sebut sebagai keyai keagungan karena pengankatannya melalui proses demokrastis- aristokratis yaitu pengangkatannya berdasarkan keturunan praktisi agama, baik yang turunan Wali ( Patrilineal ) dari pihak laki-laki ataupun turun Bibit ( Matrilineal atau keturunan Garis Prempuan ( Maq Lokaq Toaq Turun ),  sedangkan pencalonan keyai tersebut di laksanakan selama empat hari empat malam dengan melakukan pesemedian / atau bertafa’kur di persinggahan Keyai Lebe Atassalam, yang rute penyebaran dakwahnya yang di mulai dari wilayah ujung timur sampai bayan, mengikuti rute wilayah da’wah yang pernah di lakukan oleh keyai lebe tersebut seperti di Kampu Nangka Rempek, Kampu Lokok Getaq, Kampu Barung Birak dan Kampu Loloan, kampu-kampu termasuk Kampu Beleq ( Kagungan ), sementara Pelantikan atau peresmian ke empat keyai keagungan ini di laksanakan dalam prosesi acara Begundem Bleq ( Musyawarah Besar ), bertempat di Kampu Bayan Timur ( Berugaq Agung ), acara pelantikan dan peresmian keyai tersebut dalam Gundem di pimpin oleh Pemangku Bayan Timur  sebagai pemangku tertinggi, yang di hadiri oleh semua Toaq Lokaq atau pemuka pemegang adat, setelah para keyai melakukan Penguapan Janji Adat ( Ubaya Adat ), serta di pasangkan pakain berwarna dan selengkapnya ( Sapuk ) sebagai symbol seragam  ritual dalam jabatannya sebagai keyai yang di anggap suci, selanjutnya di persilahkan tinggal di rumah dinas di Kampu Kagungan dengan perlengkapan hidupnya yang di peroleh dari kampu-kampu tempat persemedian masing-masing.

Dengan keberadaan kelembagaan adat Paer Bayan tersebut, maka dalam menjalankan roda kelembagaannya oleh para tokoh-tokoh adat yang di percaya oleh masyarakat untuk mengurusi dan memimpinnya, yang selanjutnya di anggap sebagai Datu ( Pemerintah ) untuk mengurus segala bentuk aktifitas keberlansungan kehidupan komunitas dengan menerapkan pola pemerintahan adat yang tentunya meliliki rakyat, hukum, wilayah dalan lain sebagainya, untuk tujuan kesejahteraan bersama.

Korelasi dari keberadaan kelembagaan adat tersebut dalam kaitannya dengan sistim pengelolaan hutan atas perwujudan wilayah yang di milikinya meliputi lahan, laut, dan hutan serta yang terkandung di dalamnya di kuasi oleh lembaga adat dan di ikat oleh aturan-aturan lokal ( Awiq-Awiq ) yang di peruntukkan untuk memenuhi kebutuhan dan hajat masyarakat komunitas adat, sistem pengelolaan sumberdaya yanag ada baik sistem pengelolaan Lahan ( Sawah dan Ladang ), Laut ( Pantai ), Air ( Irigasi ) dan Hutan di kelola dengan kearifan lokal ( Adat ) yang pengelolaannya seperti layaknya sistem sebuah bentuk negara. Kemudian sistem ini di pertahankan, di lestarikan dan di budayakan oleh masyarakat adat bayan secara turun menurun sampai saat ini, sehingga khsusnya pada sistem pengelolaan hutan bagi masyarakat adat bayan merupakan sebuah warisan sejarah dari keberadaan Pemerintah Adat Paer Bayan di masa lampau.