Sejarah Adat Paer Bayan di masa
lampau, memang belum ada bukti-bukti sejarah yang telah di akui secara
antropologi, meski demikian ada beberapa versi yang tertuang dalam bentuk
catatan-catatan peninggalan para pendahulu masyarakat bayan.
Seperti Lontar, dalam bentuk
babad-babad, ataupun kitab-kitab kuno, salah satu kitab yang cukup di kenal
yaitu kitab yaitu kitab Kotara Gama yang di tulis oleh Empu Prapanca pada pupus
ke 14 pada masa kerajaan Majapahit, yang menceritakan berbagai sistim sosial
dan sistim pemerintahan pada masa lampau, selain versi dari kitab Kotara Gama
ada beberapa versi seperti Babad kitab Suwung dan Babad Lombok, pada babad
Suwung sendiri lebih banyak menceritakan tentang sejarah asal usul masyarakat
Asli Lombok, sedangkan pada Babad Lombok menceritakan tentang asal usul
masyarakat lombok pada versi yang berbeda, ada juga beberapa sumber yang
berkembang di kalangan masyarakat Sasak ( Baca : Lombok ), khususnya tentang
Babad Bayan yang memiliki korelasi dengan kitab Tapal Adam, ini cenderung
menceritakan pada pendekatan tentang kejadian manusia berdasarkan keyakinan
yang selama ini di akui kebenarannya dalam masyarakat Islam di bayan, namun itu
lebih pada tingkat penafsiran dari masyarakat bayan bahwa para wali songo dan
para pedagang dari timur tengah yang menyebarkan agama islam di wlayah bayan,
hal ini di buktikan dan di tandai dengan adanya pelabuhan Labuan Carik di desa
Anyar dan Pelabuhan Lokok Uringin di Barung Birak Desa Sambik Elen, yang di
jadikan sebagai tempat persinggahan para wali songo dan para pedagang timur
tengah yang mengemban misi penyebarluasan Islam di pulau Lombok tersebut.
Dalam versi yang berbeda di yakini perkembangan masyarakat
bayan sudah berkembang pesat dan maju sejak 3000 tahun yang silam, jika di
lakukan analisis kesejaharahan dalam kurun waktu tersebut sebenarnya
perkembangan masyarakat bayan sama tuanya dengan perkembangan sejarah kerajaan
Sriwijaya sekitar abad ke 12, itu artinya kehidupan masyarakat bayan boleh di
bilang sama tuanya dengan kehidupan pada masa kerajaan Sriwijaya di wilayah
Sumatera, di perkirakan pada masa itu pula, tata cara kehidupan memang belum
terorganisir secara baik dan masyarakat masih lebih menggantungkan hidupnya
pada kekuatan alam, mereka memiliki keyakinan kekuatan alam menjadi
satu-satunya tempat menggantungkan kehidupannya ( Baca : Animisme ).
Bukti-bukti lain yang bisa di jadikan dasar adalah
cerita-cerita rakyat dari para orang tua, baik tentang Sigar Penjalin, Tameng
Muter, Temelaq Mangan dan cerita-cerita rakyat lainnya, cerita tersebut di
ceritakan dan berkembang secara turun temurun, kesemua cerita ini berkisah
tentang hubungan masyarakat Lombok dengan kerajaan Sriwijaya, Kerajaan
Majapahit dan kerajaan Karang Asem Bali, pada masa lampau masyarakat bayan
masih menganut kepercayaan Animisme hingga kepercayaan agama Hindu dan Budha,
sementara kemunculan Islam di Lombok yang di ungkapkan oleh Raden Asjanom (
Tokoh Adat Bayan ) bahwa pengaruh masuknya Islam pertama kalinya melalui Bayan
sebagai pintu masuknya Agama Islam yang di bawa oleh seorang Wali Songo dari
Jawa yaitu Sunan Perapen pada akhir abad ke 14, sehingga masyarakat Paer Adat
Bayan memiliki Palsafah hidup atau
pandangan hidup “ Pilosofi Adat Paer Bayan “ yaitu tentang asal usul kejadian
kehidupan di muka bumi ini, yang dalam keyakinannya bahwa siklus kehidupan
manusia melalui 3 ( Tiga ) tahapan yaitu : 1) Lahir ( Metu atau Araq ), 2). Hidup ( Idup ), dan
3). Mati ( Mate ), jadi asal
kelahiran dan keberadaan mahluk ciptaan Tuhan di dunia ini melalui tiga pula
asal-muasalnya yaitu : Tumbuh (
Meniok ), Bertelur ( Menelok ) dan Melahirkan ( Menganak ), arti asal mula tumbuh berupa tumbuh-tumbuhan, bertelur
berupa binatang dan burung serta melahirkan berupa manusia dan binatang
menyusui, sehingga dalam pelaksanaan pemerintahan adat paer bayan pandangan
hidup atau palsafah hidup masyarakat adat bayan menjadikannya sebagai petunjuk
bahwa manusia dalam perjalanan hidupnya senantiasa tunduk dan taat pada 3 (
tiga ) unsur hukum yaitu : Hukum
Pemerintahan, Hukum Adat dan Hukum Agama
1.
Hukum Pemerintahan atau aturan pemerintahan di laksanakan
oleh Pemekel atau Mekel ( Pemegang
Pemerintahan ).
2.
Hukum Adat atau aturan adat yang pelaksanaannya di lakukan
oleh para Toaq Lokaq atau Penganggo adat ( Pemegang Adat ).
3.
Hukum Agama atau aturan agama yang pelaksanaan syariatnya
oleh Kyai Penghulu ( Pemegang Agama ).
Merujuk pada pelaksanaan pandangan hidup masyarakat adat bayan yang
taat dan tunduk pada 3 ( Tiga ) hukum tersebut terjadi adanya pembagiaan
kekuasaan untuk menjalankan roda kelembagaan pemerintahan adat, yang memiliki
kekuasan tertinggi dalam Musyawarah Besar Adat ( Gundem Bleq ), yang terdiri
dari para Toaq Lokaq adat ( Tokoh ).
Dalam jabatan pemerintahan adat Paer Bayan yang di pegang atau di
pangku oleh seseorang di sebut dengan Pemangku Pemerintahan Adat Paer Bayan,
sehingga para pemegang pemerintahan adat paer bayan baik yang berfungsi
struktural ( Fungsional ) maupun berfungsi khusus 9 Fungsi Spsialis ), maka
apabila dari kalangan masyarakat Bangsawan dalam jawatan pemegang adat pada
wilayah tertentu atau paer maka di panggil Raden atau Den ( Mamiq ), sedangkan
apabila dari kalangan masyarakat biasa atau jajar karang dalam jawatan pemegang
adat pada wilayah tertentu atau paer maka di panggil Amaq atau Maq ( Maq Lokaq
), sedangkan dalam pemerintahan adat yang mencakup keseluruhan wilayah kekuasan
pemerintahan Adat Bayan di sebut dengan “Adat
Paer Bayan “, yang di pimpin atau di pangku oleh seorang Raja yaitu
Susngsungan Agung Kerajaan Bayan yang berpusat di Bayan Timur ( Bayan Timuq
Orong ), dari keturunan raja inilah sehingga sampai sekarang di sebut dengan
Mangku atau Den Mangku.
Pemerintahan Adat Paer Bayan secara
struktural memiliki Pemangku Adat atau Mangku yang di sebut dengan “ Pemekel
Bleq “ ( Den Mangku ) yaitu sebagai pemegang peranan tertinggi dalam
pemerintahan adat paer bayan ( Top Laider ), kemudian Pemekel Bleq tersebut
memiliki Empat Pemekel-an, terdiri dari Pemekel Bayan Timur, Pemekel Loloan,
Pemekel Bayan Barat dan Pemekel Karang Bajo, kemudian pemekel-pemekel tersebut
memiliki kewenangan dan wilayah kekuasan tertentu, sehingga keberadaan
keseluruhan kepemekelan dalam pemerintahan adat paer bayan di sebut dengan “
Pemekel Adat Bayan Bleq “, jadi kepemekelan tersebut yang menjalankan tugas,
fungsi dan wewenang pemerintahan ( Hukum Pemerintahan) di paer bayan,
selanjutnya di bawah pemekel adat bayan bleq terdapat Penganggo adat ( Toaq
Lokaq ) yaitu orang yang di tua-kan sebagai pemegang dan Pemeran adat bayan
secara fungsional maupun fungsi spesialisasi secara keseluruhan pemegang dan
pemeran adat ( Pemomong ), inilah yang menjalankan kegiatan pelaksanaan Adat (
Hukum Adat ) paer bayan, akan tetapi baik kedudukan pemekel maupun penganggo
adat ( Toaq Lokaq ) tersebut mempunyai kewajiban hanya melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan masalah Ke-dunia-an saja.
Sedangkan kegiatan pelaksanaan
adat bayan yang bersifat Ke-agama-an di pegang dan di jalankan oleh Keyai, kedudukan
keyai tersebut tidak termasuk dalam struktural pemerintahan adat bayan tetapi
kedukukan keyai terpisah, karena hal ini terjadi di sebabkan oleh seiring
dengan masuknya agama islam di bayan, maka jabatan adat juga di isi dengan
jabatan yang mengurusi masalah keagamaan dalam hal ini adalah keyai, sedangkan
fuingsi dan tugasnya hanya mengurus bidang-bidang agama yang berhubungan dengan
Akhirat, jadi lebih cenderung fungsinya keyai mengurus agama ( Gama ) dan tidak
mengurus masalah keduniaan seperti pemerintahan dan hukum adat, namun tetapi
dalam jabatannya sebagai keyai yang mengurisi kegiataan keagamaan selalu di
fungsikan pada setiap pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan adat, karena keyai
di anggap orang-orang yang suci yang mampu memberikan pencerehan moral dan
kesejukan bathin bagi masyarakat adat paer bayan dengan prinsif pendekatan pada
sang pencipta alam yaitu Tuhan Yang Maha Esa, keberdaan keyai tersebut dalam
kehidupan dan pelaksanaan pemerintahan paer adat bayan tidak dapat di pungkiri,
karena hal ini sebagai salah satu bentuk bukti terjadinya dinamika sejarah
dalam tataran perubahan dan perkembangan pemerintahan adat paer bayan di masa
kerajaan dulu, sehingga pelaksanaan pemerintahan adat Paer bayan di sebut juga
bentuk pemerintahan Adat dan Agama ( Adat Gama ).
Keyai Paer Bayan
terdiri dari “ Keyai Keagungan “ dan “ Keyai Santri “, keyai keagungan
yang terdiri dari empat keyai di antaranya adalah Keyai Pengulu, Keyai Lebe,
Keyai Ketib dan Keyai Modin, sedangkan keberadaan Keyai Santri sebagai pengikut
( Penyangkol ) dari empat keyai keagungan tersebut, peruntukan keyai santri
sebagai pengikut atau penyangkol boleh lebih tetapi tidak boleh kurang, dengan
proporsi sebagai berikut : Keyai Pengulu 20 orang keyai santrinya, Keyai Lebe 10
orang santrinya dan Keyai Ketib 6 orang, khusus untuk Keyai Mudin tidak
memiliki Keyai santri, fungsi dan perannya masing-masing keyai dalam
pelaksanaan kegiatan adat yang menyangkut keagama-an seperti, Kayai Penghulu
mengurus Perkawinan dan Penceraian, Kayai Lebe tugasnya berda’wah atau
bersyi’ar islam, Keyai Ketib tugasnya menjadi khatib pada sholat jum’at dan
lebaran kemudian Keyai Mudin tugasnya memimpin dan membawa Do’a.
Keempat Keyai Paer Bayan yang di sebut
sebagai keyai keagungan karena pengankatannya melalui proses demokrastis-
aristokratis yaitu pengangkatannya berdasarkan keturunan praktisi agama, baik
yang turunan Wali ( Patrilineal )
dari pihak laki-laki ataupun turun Bibit
( Matrilineal atau keturunan Garis Prempuan ( Maq Lokaq Toaq Turun ), sedangkan pencalonan keyai tersebut di
laksanakan selama empat hari empat malam dengan melakukan pesemedian / atau
bertafa’kur di persinggahan Keyai Lebe Atassalam, yang rute
penyebaran dakwahnya yang di mulai dari wilayah ujung timur sampai bayan,
mengikuti rute wilayah da’wah yang pernah di lakukan oleh keyai lebe tersebut
seperti di Kampu Nangka Rempek, Kampu Lokok Getaq, Kampu Barung Birak dan Kampu
Loloan, kampu-kampu termasuk Kampu Beleq ( Kagungan ), sementara Pelantikan
atau peresmian ke empat keyai keagungan ini di laksanakan dalam prosesi acara
Begundem Bleq ( Musyawarah Besar ), bertempat di Kampu Bayan Timur ( Berugaq
Agung ), acara pelantikan dan peresmian keyai tersebut dalam Gundem di pimpin
oleh Pemangku Bayan Timur sebagai
pemangku tertinggi, yang di hadiri oleh semua Toaq Lokaq atau pemuka pemegang
adat, setelah para keyai melakukan Penguapan Janji Adat ( Ubaya Adat ), serta
di pasangkan pakain berwarna dan selengkapnya ( Sapuk ) sebagai symbol
seragam ritual dalam jabatannya sebagai
keyai yang di anggap suci, selanjutnya di persilahkan tinggal di rumah dinas di
Kampu Kagungan dengan perlengkapan hidupnya yang di peroleh dari kampu-kampu
tempat persemedian masing-masing.
Dengan keberadaan kelembagaan adat Paer
Bayan tersebut, maka dalam menjalankan roda kelembagaannya oleh para
tokoh-tokoh adat yang di percaya oleh masyarakat untuk mengurusi dan
memimpinnya, yang selanjutnya di anggap sebagai Datu ( Pemerintah ) untuk
mengurus segala bentuk aktifitas keberlansungan kehidupan komunitas dengan
menerapkan pola pemerintahan adat yang tentunya meliliki rakyat, hukum, wilayah
dalan lain sebagainya, untuk tujuan kesejahteraan bersama.
Korelasi dari keberadaan kelembagaan adat
tersebut dalam kaitannya dengan sistim pengelolaan hutan atas perwujudan
wilayah yang di milikinya meliputi lahan, laut, dan hutan serta yang terkandung
di dalamnya di kuasi oleh lembaga adat dan di ikat oleh aturan-aturan lokal (
Awiq-Awiq ) yang di peruntukkan untuk memenuhi kebutuhan dan hajat masyarakat
komunitas adat, sistem pengelolaan sumberdaya yanag ada baik sistem pengelolaan
Lahan ( Sawah dan Ladang ), Laut ( Pantai ), Air ( Irigasi ) dan Hutan di
kelola dengan kearifan lokal ( Adat ) yang pengelolaannya seperti layaknya
sistem sebuah bentuk negara. Kemudian sistem ini di pertahankan, di lestarikan
dan di budayakan oleh masyarakat adat bayan secara turun menurun sampai saat
ini, sehingga khsusnya pada sistem pengelolaan hutan bagi masyarakat adat bayan
merupakan sebuah warisan sejarah dari keberadaan Pemerintah Adat Paer Bayan di
masa lampau.